JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) tetap pada pendirian terhadap ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik menjadi kebijakan terbuka dalam ranah pembentuk undang-undang. Hal tersebut termuat dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 73/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam persidangan di MK pada Kamis (29/9/2022). Permohonan ini diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Lebih jelas Enny menyebutkan perbedaan argumentasi dalil para Pemohon dengan permohonan-permohonan sebelumnya yang pada pokoknya menyatakan ketentuan presidential threshold tersebut perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional, dan implementatif sehingga tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon. Menurut Mahkamah, hal tersebut bukanlah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai sehingga dapat mengubah besaran angka ambang batas. Sebab, lanjut Enny, hal tersebut pun juga ditegaskan oleh para Pemohon dalam permohonannya merupakan kebijakan terbuka sehingga menjadi kewenangan para pembentuk undang-undang, yakni antara DPR dengan Presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan proses legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut.
Oleh karenanya, berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk mempersempit pembatasan pelaksanaan open legal policy melalui interval range angka ambang batas, menyeimbangkan penguatan sistem presidensial dan demokrasi/kedaulatan rakyat, serta penentuan interval range angka ambang batas berbasis kajian ilmiah melalui penghitungan indeks Effective Numbers of Parliamentary Parties (ENPP), Mahkamah mengapresiasi segala bentuk kajian ilmiah yang akan digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam menentukan besaran angka ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik. Namun demikian, hal tersebut bukan ranah kewenangan Mahkamah untuk memutusnya.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya,” jelas Enny pada sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri para pihak secara virtual.
Alhasil, dalam amar Putusan Nomor 73/PUU-XX/2022, Mahkamah menyatakan menolak permohonan PKS yang mempersoalkan ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Anwar Usman.
Alasan Berbeda
Terhadap perkara ini, terdapat alasan berbeda dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Hakim Konstitusi Suhartoyo tetap berpendirian sebagaimana putusan-putusan sebelumnya berkenaan dengan presidential threshold, tidak tepat diberlakukan adanya persentase.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bukan open legal policy pembentuk undang-undang. Sebab, secara konstitusional, Saldi menilai syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden telah ditentukan secara eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Prresiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Dengan konstruksi demikian, pembentuk undang-undang tidak dapat keluar dari hal yang telah dimuat dalam norma konstitusi dengan cara menambah syarat baru yang sama sekali tidak dikehendaki UUD 1945.
Baca juga:
PKS Uji Konstitusionalitas Ambang Batas Capres 20 Persen
PKS Minta Ambang Batas Capres 7-9 Persen
PKS Perkuat Kedudukan Hukum dalam Uji Ketentuan "Presidential Threshold"
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.