JAKARTA, HUMAS MKRI – Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan telah memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945. Demikian salah satu pertimbangan hukum Putusan Nomor 58/PUU-XX/2022 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi isra dalam sidang pengucapan putusan yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (29/9/2022).
“Sehingga dalil dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Banjarmasin (Pemohon I) dan sejumlah Pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin (Pemohon II, III, IV,V) yang menyatakan proses penyusunan undang-undang tersebut tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Saldi.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 ini dalam sidang pendahuluan menjabarkan telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel karena dalam proses pembuatan norma tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat sehubungan dengan pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan. Selain itu, UU Provinsi Kalsel juga dinilai merugikan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Kota Banjarmasin (Pemohon I) karena dengan rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi, terutama bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Kota Banjarmasin.
Sementara bagi Pemohon II, III, IV, dan V, menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota provinsi ini dapat merugikan para Pemohon karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas. Menurut para Pemohon, pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota tersebut dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalimantan Selatan
Pemindahan Ibu Kota Provinsi Selaras dengan Visi Kota Banjarbaru
Terkait dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa pada tataran yang ideal, semua pihak yang berkaitan dengan undang-undang yang akan dibentuk, didengarkan pendapatnya oleh pembentuk undang-undang. Namun secara teknis prosedural, lanjut Saldi, hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan secara maksimal dan justru menyebabkan proses pembentukannya menjadi tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu, berkaitan dengan siapa saja pihak yang dapat didengar masukannya dalam proses pembentukan undang-undang, ketentuan Pasal 96 ayat (3) UU P3 (Pembentukan Peraturan Perundang-undnagan) telah membatasi hanya kepada orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Ditambah pula Penjelasan Pasal 96 ayat (3) UU P3 elah menentukan yang termasuk dalam kelompok orang, di antaranya kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.
“Berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah melihat secara formal kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan DPR dengan melibatkan pemerintah provinsi, DPRD provinsi, akademisi, serta LSM telah sesuai dengan prosedur dan tata cara pembentukan undang-undang. Mahkamah juga perlu menegaskan, sekalipun tidak membentuk tim khusus dengan melibatkan 2 Walikota dan 11 Bupati serta 13 DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan, tidak menyebabkan proses pembentukan UU Kalsel tersebut menjadi cacat formil,” jelas Saldi pada sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Dinamika Berdemokrasi
Berikutnya Saldi mengatakan sehubungan dengan bukti berupa dokumen yang menunjukkan adanya penolakan pemindahan Ibukota dari berbagai unsur elemen masyarakat yang diajukan oleh para Pemohon Mahkamah menilai hal demikian menjadi bagian dari dinamika berdemokrasi. Sehingga tidak dapat menentukan keabsahan formalitas dalam proses pembentukan suatu undang-undang. Sebab, akan selalu saja terbuka kemungkinan adanya kelompok yang pro dan kontra terhadap lahirnya suatu undang-undang yang merupakan bentuk kebebasan berpendapat. Faktanya, lanjutnya, terdapat juga beberapa surat dukungan pemindahan ibu kota ke Kota Banjarbaru.
“Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon mengenai tidak dilibatkannya tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan sebagaimana proses pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru, dan pemindahan pusat pemerintahan dimaksud dilakukan tanpa konsep dan kajian yang jelas, serta tidak memperhatikan aspirasi masyarakat adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Saldi.
Pemberian Status Hukum Kota
Sementara itu, terhadap dalil dari Pemohon pada Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022 , Mahkamah menyatakan menolak untuk seluruhnya terhadap pengujian Pasal 4 UU Kalsel bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28D, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum pada permohonan Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022. Berkenaan dengan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Pasal 4 UU Kalsel ini. Saldi menyebutkan bahwa Mahkamah menilai hal tersebut bukanlah sebuah proses pemindahan ibukota yang baru ditentukan berdasarkan UU Kalsel.
Sebenarnya materi muatan Pasal 4 UU Kalsel yang menentukan Kota Banjarbaru sebagai Ibukota lebih merupakan pemberian dasar hukum terhadap status Kota Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan sebagaimana yang telah berjalan selama ini. ditambah pula, Mahkamah menemukan fakta berdasarkan Laporan Hasil Pengumpulan Data Dalam Rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan secara faktual, walaupun ibukota di Kota Banjarmasin, namun sejak 14 Agustus 2011, sebagian aktivitas pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan berpindah ke Kota Banjarbaru.
“Dengan demikian, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon perihal pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru sebagaimana substansi Pasal 4 UU Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Saldi.
Baca juga:
Pemohon Uji Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalsel Perbaiki Kedudukan Hukum
Pemerintah Sebut Banjarbaru Dirancang sebagai Kota Penyangga Pembangunan IKN
Gugur
Berikutnya terhadap Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Kalimantan Selatan Harry Wijaya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Ketua MK Anwar Usman menyatakan gugur terhadap permohonan tersebut dalam Sidang Pengucapan Putusan MK pada Kamis (29/9/2022).
Sesuai dengan Pasal 34 UU MK, lanjut Anwar, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan pada Sidang Panel, 23 Mei 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada para Pemohon. Di samping itu, Mahkamah telah pula beberapa kali melaksanakan sidang pemeriksaan terakhir pada 19 September 2022 dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli dan Saksi para Pemohon serta Keterangan Ahli dan Saksi Pihak Terkait Walikota Banjarbaru.
Namun pada 26 September 2022, para Pemohon mengajukan surat pencabutan permohonan pengujian formil dan materiil UU Kalsel bertanggal 3 September 2022. Alasannya, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota, dan Pemindahan Ibu Kota dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 telah diatur mekanisme pemindahan ibu kota provinsi sehingga dalam upaya mempertahankan Banjarmasin sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan adalah bukan melalui judicial review tetapi dengan executive review.
Terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut dan berpedoman pada Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (2) UU MK, maka Rapat Permusyawaratan Hakim pada 26 September 2022 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum. Para Pemohon juga dinyatakan tidak dapat mengajukan kembali permohonan. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon.
“Menetapkan, Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon; Menyatakan Permohonan Nomor 60/PUU-XX/2022 mengenai Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali; Menyatakan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo; Memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali Permohonan Nomor 60/PUU-XX/2022 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon,” ucap Anwar. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina