JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memberikan kuliah perdana kepada Mahasiswa dan Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah (FH UIA) secara daring, pada Rabu (28/9/2022). Acara ini dihadiri Rektor UIA Masduki Ahmad dan Dekan FH UIA Efridani Lubis.
Di hadapan civitas akademika FH UIA Anwar mengatakan, pada hakikatnya pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan sarana konkret bagi rakyat untuk menentukan pemimpin pemerintahan di tingkat daerah. Partisipasi masyarakat dalam pilkada, merupakan wujud kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi. Sesuai dengan namanya, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan, maka wujud dari pemerintahan rakyat dilakukan melalui pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
“Dengan pilkada, rakyat dapat memilih secara langsung calon-calon pemimpin di daerahnya. Oleh karena itu, pilkada merupakan pendelegasian kedaulatan rakyat kepada seseorang (pasangan calon), guna mewakilinya dalam menyusun kebijakan-kebijakan publik, khususnya di tingkat pemerintahan daerah. Untuk itu, agar kemurnian suara rakyat terjaga, maka proses pilkada harus didesain setransparan mungkin, akuntabel, dan dengan pengawasan yang ketat. Hal ini dilakukan agar keterpilihan para kepala daerah, mendapatkan legitimasi yang kuat karena mendapatkan mandat langsung dari rakyat,” terang Anwar.
Anwar melanjutkan, penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah, merupakan amanat ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Pilkada diselenggarakan secara serentak dalam beberapa tahap. Pilkada serentak tahap pertama telah dimulai pada 2015. Pilkada akan digelar serentak secara nasional pada tahun 2024 mendatang.
Menurut Anwar, penyelenggaraan pilkada sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan di atas, meski merupakan tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilihan, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) selaku penyelenggara pemilihan yang bertugas melakukan pengawasan terhadap jalannya proses pilkada yang berlangsung, namun tentunya juga merupakan tanggung jawab berbagai pihak yang turut memfasilitasi kelancaran proses pilkada, termasuk Kementerian Dalam Negeri. MK beberapa waktu lalu telah menjalin kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, khususnya dalam bidang penyediaan data kependudukan. Data tersebut menjadi dasar bagi lahirnya hak pilih seorang warga negara di dalam setiap pemilu maupun pilkada.
Anwar menjelaskan, selain penyelenggaraan pemilihan dan pengawasan penyelenggaraan pemilihan yang dilaksanakan oleh KPU dan Bawaslu, dalam tahapan pilkada juga terdapat mekanisme penyelesaian pelanggaran pemilihan yang harus dilakukan sesuai dengan jenis pelanggaran dan tahapannya masing-masing.
“Beberapa pelanggaran dimaksud adalah pelanggaran kode etik yang menjadi kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Pelanggaran Administrasi yang menjadi kewenangan Bawaslu, Tindak Pidana Pemilihan yang menjadi kewenangan Sentra Gakkumdu dan peradilan umum, sengketa Tata Usaha Negara yang menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan penyelesaian perkara PHP sebagai bagian akhir dalam proses Pilkada. Sedangkan untuk memutuskan dan menyelesaikan perselisihan penetapan hasil perolehan suara para peserta atau pasangan calon pemilihan kepala daerah (PHP Kada), berdasarkan Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016, diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi, hingga dibentuknya badan peradilan khusus,” jelas Anwar.
Hak Demokrasi
Anwar juga memaparkan pemenuhan hak-hak demokrasi bagi rakyat adalah kewajiban negara untuk melaksanakannya. Pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam berdemokrasi senantiasa mengalami ujian dan tantangan yang selalu berbeda.
“Kita memang telah memiliki pengalaman sejak tahun 2005 untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, dan kita juga memiliki pengalaman dalam melaksanakan pilkada secara serentak sejak tahun 2015, hingga tahun 2018. Namun, pelaksanaan pilkada serentak pada tahun 2020 lalu, tentu memiliki tantangan yang tidak biasa, yaitu wabah pandemi Covid-19, yang tidak hanya dialami oleh kita, tetapi juga terjadi di berbagai negara,” papar Anwar.
Menurut Anwar, pelaksanaan pilkada serentak 2020 dalam kondisi pandemi Covid-19 tentulah hal sangat dilematis. Pada satu sisi, negara berkewajiban untuk memenuhi hak-hak konstitusional warga negara dalam berdemokrasi. Namun pada sisi yang lain, negara juga dihadapkan dengan kondisi untuk melaksanakan protokol kesehatan, demi mencegah semakin menyebar dan meluasnya wabah Covid-19 di masyarakat. Pelaksanaan protokol kesehatan tersebut, juga merupakan bagian dari pemenuhan hak kesehatan masyarakat, sesuai dengan amanat konstitusi. Tantangan dan pilihan dalam melaksanakan pilkada serentak tahun 2020 ini memang terasa berat. Bahkan penundaan pelaksanaan pemungutan suara pilkada serentak yang semula akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020, telah diubah menjadi 9 Desember 2020.
Keputusan untuk tetap melaksanakan pilkada serentak tahun 2020 telah ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR. Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Tentu banyak penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan di dalam setiap tahapan pelaksanaan pilkada serentak, termasuk proses penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di MK. Penyesuaian-penyesuaian tahapan pelaksanaan pilkada serentak, serta penyelesaian perselisihannya, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, meski juga bukan berarti hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan.
Pilihan-pilihan yang dihadapkan kepada kita adalah sesuatu yang memang harus diputuskan dan dijalani. Namun sebagai umat beragama, kita tentu harus meyakini bahwa pandemik covid-19, adalah takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bagi umat manusia, untuk memperteguh sekaligus memperkuat keyakinan, bahwa peristiwa ini adalah bagian dari takdir Tuhan yang harus dijalani dan dilalui. Sebagai seorang muslim, saya berkeyakinan dan berpegang kepada firman Allah SWT., di dalam Surat Al-Baqarah ayat 286 yang menyatakan, “Allah tidak membebani seseorang atau suatu kaum melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”.
“Alhamdulillah, berkat kerjasama yang baik dari semua pihak, penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2020 yang demokratis dan sesuai dengan asas-asas yang ditegaskan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, telah dilalui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,” imbuh Anwar.
Pemilu Serentak 2024
Pada 2024 mendatang, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan anggota legislatif, serta pemilihan kepala daerah. Pemilu digelar pada 14 Februari 2024 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) RI, dewan perwakilan daerah (DPD) RI, serta dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Sementara, pilkada digelar pada 27 November 2024. Melalui gelaran pilkada, akan dipilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh Indonesia.
Tidak terasa, tahun depan adalah tahun 2023 yang berarti sudah memasuki tahun politik. Ini berarti pula waktu kick off perhelatan akbar bernama “pemilu serentak nasional” sudah kian dekat. Meskipun demikian, secara umum, MK telah siap menghadapinya. MK saat ini sedang dan akan terus bertransformasi menjadi peradilan yang modern, cepat, sederhana, dan tanpa biaya. Administrasi perkara, dan sistem teknologi informasi yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses keadilan dengan mudah dan tanpa biaya harus dijamin keberlangsungannya, didukung sumber daya manusia yang berkualitas dan dapat dipercaya, terbuka, dapat dikontrol oleh publik menjadi hal yang sangat penting untuk terwujudnya peradilan modern.
Anwar menegaskan, MK akan terus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat agar dapat merasakan dan memanfaatkan secara optimal keberadaan MK dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan terus mengembangkan proses beracara ke arah yang lebih baik, yang dilangsungkan secara modern, cepat, sederhana, dan tanpa biaya, yang berhubungan dengan manajemen persidangan, waktu berperkara dan prosedur yang sederhana dalam pengajuan dan pemeriksaan permohonan. Dalam hal ini, MK juga terus berikhtiar memberikan kemudahan bagi para pencari keadilan (justiciabelen).
“Saat ini, masyarakat dapat merasakan bagaimana mudahnya beracara di MK. Masyarakat dapat menyampaikan permohonan secara Elektronik secara online dan real-time (seketika) melalui media elektronik SIMPEL (Sitem Informasi Penanganan Elektronik), yaitu sebuah aplikasi berbasis web untuk memberikan akses langsung kepada para pihak terhadap perkara konstitusi, termasuk untuk mengajukan permohonan elektronik secara online (permohonan online). Melalui aplikasi ini, para pihak atau masyarakat tidak hanya dapat melakukan pengajuan permohonan secara online, tetapi juga memantau perkembangan permohonan/perkara, dan mengakses berbagai fitur-fitur layanan seperti jadwal sidang, panggilan sidang, mengunduh risalah atau putusan, serta fitur-fitur lainnya. Selain itu, persidangan juga dapat dilakukan secara virtual sehingga telah mengikis ruang dan jarak bagi para pihak. Kehadiran SIMPEL telah dapat dirasakan oleh para pihak selama masa Pandemi Covid-19 ini,” tandas Anwar.
Selain aspek teknologi, sambung Anwar, MK juga kerap memberikan pemahaman hak konstitusional kepada warga negara melalui berbagai macam kegiatan seperti bimbingan teknis beracara di MK bagi para advokat, berbagai seminar, workshop, lokakarya, halaqah, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Hal itu semata-mata demi meningkatnya pemahaman warga negara akan pentingnya hak konstitusional.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.