JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara (UU 12/1980), digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (27/9/2022). Permohonan yang diregistrasi MK dengan nomor Perkara 94/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Ahmad Agus Rianto, berprofesi sebagai supir ojek daring yang berdomisili di Kecamatan Selopuro, Blitar.
Pemohon mempersoalkan norma Pasal 12 ayat (1) dan (2); Pasal 13 ayat (1), (2) dan (3); Pasal 14 ayat (1) dan (2); Pasal 15; Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3); Pasal 17 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5); Pasal 18 ayat (1) dan (2); Pasal 19 ayat (1), (2), (3) dan (4); Pasal 20; dan Pasal 21 UU 12/1980. Pada dasarnya, seluruh norma yang dipersoalkan mengatur perihal pensiun bagi pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara dari segi persyaratan hingga mekanisme pembayarannya.
Dalam persidangan yang digelar secara daring, Pemohon diwakili kuasanya Muhammad Sholeh menyampaikan permohonan pengujian ini sebelumnya pernah diperiksa dan diputus oleh MK dengan Nomor Perkara Nomor 41/PUU-XI/2013. Akan tetapi, Pemohon menyakini terdapat permohonan yang berbeda dengan permohonannya.
“Adapun perbedaan yang dimaksud yakni dulu pemohonnya adalah seorang anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo kalau sekarang pengemudi ojek online. Dan perbedaan kedua, dulu mempersoalkan diskriminasi anggota DPR mendapatkan hak pensiun tetapi anggota DPRD tidak mendapatkan,” ujar Sholeh.
Lebih lanjut Sholeh menjelaskan, penerapan pasal yang mengatur dana pensiun bagi pejabat negara merugikan Pemohon, karena retribusi dan pajak yang dibayar Pemohon seharusnya dipergunakan untuk peningkatan pelayanan dasar masyarakat dan pembangunan sarana prasarana umum yang bermanfaat pada masyarakat harus dialokasikan untuk pensiun anggota lembaga tertinggi/tinggi negara.
“Situasi ekonomi 2 tahun terakhir ini pasca pandemi, keuangan negara Indonesia tidak baik-baik saja. Hutang 7000 trilyun, ada kenaikan BBM. Ini yang menurut Pemohon kondisi sosial ekonomi tidak tepat jika ada alokasi hak pensiun bagi pejabat negara. Oleh karenanya menurut pemohon, Pemohon punya legal standing di dalam pengujian pasal a quo,”ujar Sholeh dihadapan Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku pemimpin sidang dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Sholeh menyebut, lebih tepat dana pensiun yang diperuntukkan kepada mantan pejabat negara dialihkan kepada pendidikan dan kesehatan. Hal ini tentu akan lebih bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat dan sesuai Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya, sambung Sholeh, pemohon mengatakan pejabat negara seperti Presiden, Menteri, kepala daerah dan lainnya bukan jabatan yang lama masa kerja hanya 5 (lima) tahun dan maksimal hanya 2 periode maka tidak seharusnya mendapatkan dana pension sebab masa kerjanya terlalu pendek.
“Pemohon tidak sependapat dengan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XI/2013 halaman 25 yang menyatakan: ketentuan yang mengatur mengenai pensiun untuk pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara serta mantan pimpinan lembaga tertinggi/tinggi negara dan mantan anggota lembaga tinggi negara dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU 12/1980 merupakan pengaturan lebih lanjut terhadap hak pensiun yang diterima oleh anggota lembaga tertinggi/tinggi negara serta bekas pimpinan lembaga tertinggi/tinggi negara dan bekas anggota lembaga tinggi negara dalam hal ini antara lain untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan penghasilan yang diterima setiap bulan, hal tersebut merupakan penghargaan atas jasa terhadap negara atau pemerintah yang bukan dimaksudkan untuk pemborosan anggaran negara,”jelas Sholeh.
Menurut Pemohon, argumentasi ini kurang tepat karena kondisi keuangan negara tidak memungkinkan apabila masih ada alokasi anggaran untuk pensiun pejabat negara. “Selain itu, frasa kemakmuran harus dimaknai, jika nantinya negara sudah kaya raya, APBN sudah mampu menggratiskan sekolah negeri dan swasta mulai SD hingga universitas, APBN sudah mampu menggratiskan orang sakit tanpa ikut BPJS, barulah APBN bisa memberikan hak pensiun bagi para pejabat Negara sebagai wujud rasa terima kasih atas pengabdian kepada Negara,” jelas Sholeh.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan berlakunya pasal a quo dengan menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta pemohon untuk menguraikan bagian pokok permohonan dengan membandingkan pengujian sebelumnya dimana letak bedanya.
“Waktu diuraikan ada tetapi dalam permohonan ini tidak ada, apakah dasar pengujiannya yang berbeda atau argumentasi hukumnya yang berbeda. Kemudian, uraian dasar pengujian dihadapkan dengan pasal yang diuji. Dasar pengujian lebih penting dihadapkan dengan norma yang diujikan,” terangnya.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta Pemohon untuk menjelaskan alasan permohonan (posita) pemohon. “Supaya ini bisa dikabulkan itu harus mampu menjelaskan positanya memang ada pertentangan pasal-pasal yang kesemuanya memberikan pensiun kepada pejabat negara dengan Pasal 23. Apakah betul Pasal 23 ini menjadi dasar. Coba dipelajari lagi batu uji atau landasan konstitusional pasal lain undang-undang dasar,” saran Arief.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan bahwa Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Selambatnya permohonan diterima oleh Kepaniteraan MK pada 11 Oktober 2022. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita