JAKARTA, HUMAS MKRI - Dharma Oratmangun dan Eko Sutrisno memberikan kesaksian dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada Selasa (27/9/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Oratmangun dan Eko dihadirkan oleh Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) selaku Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 63/PUU-XIX/2021 ihwal pengujian UU Hak Cipta yang diajukan oleh PT Musica Studios. Sidang ke-14 ini beragendakan mendengarkan keterangan Saksi dari Pihak Terkait yaitu Fesmi, PAMMI, ARDI, dan RAI serta Puji Rahaesita, dkk.
Dharma Oratmangun yang berprofesi sebagai pencipta lagu dan pemusik sejak 1980-an menceritakan kondisi yang dialaminya pada 1980-an hingga tahun 2000-an. Dalam perjalanan industri musik yang dilakoni, Oratmangun mendapati banyak perjanjian atau kontrak kerja yang melalui dan tidak melalui kontrak kerja bahkan hanya menggunakan selembar kuitansi. Posisi tersebut dirasakan sangat tidak berpihak kepada pemilik hak cipta.
Oratmangun menceritakan dirinya merasakan secara langsung dalam perjanjain kerja/kuitansi tersebut tidak ditulis besaran royalti. Ketiadaan nominal tersebut kemudian dikenalnya dengan istilah beli putus.
“Dalam posisi yang tersudutkan tersebut, para pemilik hak cipta mau tidak mau menandatangani perjanjian/kuitansi itu dan ini berlangsung dari tahun ke tahun,” kisah Oratmangun yang menyampaikan kesaksian secara daring.
Lebih lanjut Oratmangun mengatakan, pada 1980-an sejumlah seniman musik menggagas berdirinya Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) sebagai sebuah wadah perjuangan bagi para pemilik hak cipta untuk melakukan interupsi terhadap perkembangan industri musik Indonesia yang tidak berpihak kepada pemilik hak cipta. Misalnya saja, jelas Oratmangun, pada 1980-an itu dirinya dibayar senilai Rp150.000 - Rp250.000 untuk setiap lagu yang diciptakan. Akibatnya, ia tidak bisa mengandalkan profesi yang merupakan pemberian Tuhan ini. Namun demikian, menyangkut kehormatan hak cipta ini pulalah ia tetap berkarya karena menganggap kemampuan mencipta lagu merupakan rahmat dari Tuhan.
“Selain itu, melalui karya cipta ini kami juga berkontribusi bagi negara, bisa melalui pajak dari industri dan memberikan banyak pekerjaan bagi banyak pihak dalam bidang industri musik. Maka UU Hak Cipta yang terbaru ini telah memberikan perlindungan yang sangat memenuhi hak konstitusi kami. UU Hak Cipta terbaru ini telah mengatur tentang keadilan sehingga para pemilik hak cipta dilindungi hak konstitusinya. Oleh karena itu, UU Hak Cipta ini telah menjawab dan memenuhi asas-asas konstitusional dan karena itu kami mohon kepada Majelis Hakim untuk tidak mengabulkan gugatan yang menurut kami jauh dari asas keadilan,” sampai Oratmangun yang pernah memenangkan penghargaan pada Festival Lagu Nasional pada 1989–1990 atas lagu “Aku Suka Kamu Suka”. Namun ia mengaku tidak pernah mendapatkan perhitungan royalti atas karyanya ini.
Tidak Ada Pilihan
Eko Sutrisno atau dikenal dengan nama Eko Saky adalah pencipta lagu Dangdut “Jatuh Bangun” yang dinyanyikan Kristina. Eko dalam kesaksiannya di persidangan secara daring menceritakan kisah pilu perjalanan berkaryanya.
Eko mengaku pernah mendapatkan penghargaan dari TV Swasta sebagai penulis lagu. Namun terkadang ia merasa miris dan malu pada nama besarnya di industri musik karena tidak dapat merasakan apa yang telah dihasilkan dari karyanya tersebut. Selama puluhan tahun ia berada dalam kondisi sulit. Seringkali saat meminta hak atas hasil karya ciptanya, ia selalu diberikan jawaban dari perusahaan jika lagunya kurang laku.
Eko juga menceritakan sejak ia bermusik pada 1980-an dan terjun dalam industri musik pada 1990-an, untuk setiap lagu hanya dibayarkan senilai Rp75.000 dan biasanya hanya dinyatakan di atas sebuah kuitansi saja. Tak hanya itu, pada banyak perjanjian kerja, isi kontrak yang dibubuhkan cenderung berat sebelah. Eko mengakui saat itu para pencipta lagu tidak ada pilihan selain hanya mengikuti perjanjian yang dibuat bersama tersebut. Apabila ditolak, maka mereka tidak makan bahkan lebih parahnya lagi, beberapa waktu lalu Eko ditelepon salah satu perusahaan yang akan memberikan uang royalti padanya senilai Rp417.000.
“Bertahun-tahun saya tidak pernah menerimanya dan itu pun dibagi berdua. Ini sangat tidak manusiawi. Bahkan puluhan tahun kami hanya menjadi sapi perah, kami mohon Hakim Mahkamah tidak meluluskan apa yang sedang digugat saat ini. Saya tidak mengapa tidak merasakan yang menjadi hak saya, tapi saya berharap anak dan cucu saya bisa menikmati hasil karya saya. Kami motor industri musik, tapi kami tidak dapat apa-apa,” cerita Eko pada sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.
Baca juga:
PT Musica Studios Persoalkan Ketentuan Batas Waktu Hak Milik dalam UU Hak Cipta
PT Musica Studios Kurangi Pasal Pengujian UU Hak Cipta
DPR: Pencipta Seharusnya Mendapatkan Banyak Keuntungan Ekonomi
Piyu PADI Anggap Aturan Jangka Waktu Batas Hak Cipta Lindungi Pencipta Lagu
Hak Cipta di Mata Para Musisi
Marcell Siahaan: UU Hak Cipta Melindungi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan
Perjanjian Jual Beli Putus dalam Pandangan Ahli Hukum dan Pelaku Industri Musik
Keterangan Ahli Belum Siap, Pemerintah Minta Tunda Sidang UU Hak Cipta
Hak Moral Melekat Abadi pada Diri Pencipta
Keterangan Tertulis Ahli Terlambat, Sidang Uji UU Hak Cipta Ditunda
Hak Cipta Melekat secara Eksklusif kepada Kreativitas Pencipta
Ahli Belum Siap dan Saksi Undur Diri, Sidang Uji Hak Cipta Ditunda
Untuk diketahui, permohonan Nomor 63/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian UU Hak Cipta ini dimohonkan oleh PT Musica Studios. Materi yang dimohonkan untuk diuji yakni Pasal 18, Pasal 30, Pasal 122 UU Hak Cipta. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 18 UU Hak Cipta menyatakan, “Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.” Kemudian Pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan, “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.”
Pemohon pada intinya mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta menghalangi hak milik Pemohon atas suatu karya yang telah dilakukan perjanjian beli putus. Sebab pasal tersebut memberikan ketentuan batas waktu atas sebuah karya cipta, yang kemudian suatu karya tersebut harus dikembalikan pada pemilik cipta setelah 25 tahun. Pemohon menilai ketentuan tersebut merugikan karena hanya berstatus sebagai penyewa dan sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut pada pencipta karya.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan kehilangan hak ekonomi atas berlakunya ketentuan Pasal 122 UU Hak Cipta. Dengan dikembalikannya hak cipta kepada pencipta, Pemohon tidak dapat mengambil royalti atas eksploitasi yang dilakukan pihak lain atas atas fonogram dari sebuah karya tersebut. Oleh karenanya, Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.