JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Robiyanto yang berprofesi sebagai wiraswasta. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 86/PUU-XX/2022 tersebut dilaksanakan pada Senin (26/9/2022). Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang kedua dengan agenda menyampaikan perbaikan permohonan, Jhon Asron Purba selaku salah satu kuasa Pemohon menyebutkan beberapa hal yang disempurnakan pada permohonannya. Salah satunya adalah memisahkan posita dan petitum dengan substansi yang sama dengan penajaman pada bagian tertentu; uraian tentang hak konstitusional Pemohon yang telah diselaraskan dengan ketentuan Pasal 28D UUD 1945; penjelasan mengenai kerugian konstitusional Pemohon akibat dari pembunuhan berencana yang penyelesaian kasusnya telah diwakili negara dalam hal ini penyidik dalam menyelesaikan perkara pidananya; dan penjelasan tentang unsur apabila perkara ini dikabulkan.
“Jika dikabulkan permohonan, maka Pasal 78 Ayat 1 Angka (4) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup’,” sebut Jhon pada Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Baca juga: Tak Peroleh Keadilan Atas Kematian Orang Tuanya, Ahli Waris Uji KUHP
Sebagai informasi, Pemohon menceritakan orang tuanya atas nama Taslim meninggal dunia pada 14 April 2002 akibat dibunuh secara sadis di Pasar Malam Balai, Kelurahan Karimun, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Atas kejadian ini, Pemohon melapor pada Kepolisian Resor Karimun. Terhadap laporan tersebut ditetapkan dua orang yang kemudian terpidana penjara selama 15 tahun, sedangkan 5 lima orang lainnya yang masuk pada daftar pencarian orang (DPO). Namun perkara atas 2 orang yang ditetapkan tersangka oleh Majelis Hakim dihentikan penyidikannya oleh Kepolisian Republik Indonesia dengan alasan hukum perkara daluwarsa sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP.
Ketidakadilan masa daluwarsa penuntutan yang dialami Pemohon pada perkara ini, berpotensi membuat pelaku tindak pidana berat, keji, dan biadab yang semestinya dihukum mati atau seumur hidup tidak memperoleh hukuman sebagaimana perbuatannya. Selain itu, sambung Jhon, pasal a quo juga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon atas hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Sebab daluwarsanya masa penuntutan terhadap pelaku tindak pidana mati atau pidana penjara seumur hidup (dalam hal ini 20 tahun) yang daluwarsanya hanya 18 tahun. Di tambah pula, Pemohon berpotensi tidak adanya kepastian hukum terhadap kematian orang tua Pemohon terhadap 5 orang masih DPO dan belum ditemukan sampai saat ini.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon dalam Petitumnya memohon pada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan materi muatan Pasal 78 Ayat 1 Angka (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lebih dari delapan belas tahun dan atau 36 tahun.”(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.