PALEMBANG, HUMAS MKRI – Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hidup dan kehidupan manusia juga mengalami disrupsi yang nyata. Efisiensi menjadi kata dan sekaligus jargon utama yang acapkali digaungkan manusia guna mempermudah kehidupannya. Namun pada sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan efisiensi sebagai jargon utamanya justru tidak jarang bersifat kontra produktif dan bahkan juga cenderung destruktif bagi kehidupan dalam arti yang luas. Fenomena inilah yang tampaknya disadari oleh para penyusun empat kali perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam kurun waktu 1999 – 2002 hingga kemudian mereka mencantumkan kata yang penuh makna, yakni “efisiensi-berkeadilan” dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam acara Wisuda Sarjana ke-82 Universitas Islam Negeri Raden Fatah pada Sabtu (24/9/2022) di Palembang, Sumatera Selatan.
“Pencantuman teks (nash) Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 ini menjadi momentum baru bagi segenap bangsa Indonesia dalam kegiatan perekonomiannya. Teks pasal tersebut menjadi koridor baru bagi filosofi, esensi, dan nilai-nilai (philosophy, essence, and values) yang harus senantiasa menjadi conditio sine qua non sekaligus landasan penting bagi setiap aktivitas perekonomian yang melibatkan kepentingan segenap bangsa Indonesia,” terang Wahiduddin di hadapan para wisudawan UIN Raden Patah Palembang.
Menurut Wahiduddin, kata “efisiensi-berkeadilan” dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 memang awalnya lahir sebagai produk politik yang kompromistik guna menjadi pilihan paling moderat (wasthiyyah) dari berbagai pemikiran dan ideologi ekonomi yang mempengaruhi momentum serta konteks empat kali perubahan UUD Tahun 1945 yang berlangsung dalam kurun waktu 1999-2002. “Dalam perkembangannya, kata ‘efisiensi-berkeadilan’ ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa UUD NRI Tahun 1945 merupakan konstitusi tertulis yang adaptif bagi perubahan zaman,” jelas Wahiduddin.
Syariah dalam Era Disrupsi Digital
Selain itu, Wahiduddin yang hadir secara langsung menyampaikan mengenai pentingnya syariah dalam era disrupsi digital. Dalam kamus Merriam-Webster, syariah dimaknai sebagai bentuk hukum yang secara trasendental bersumber dari firman Allah SWT dalam kitab suci Al Qur’an yang kemudian dilengkapi pula dengan hadits/sunnah Rasulullah Muhammad Saw dan secara teoritik tidak hanya mengatur aqidah, tetapi juga meliputi muammalah seperti politik, ekonomi, sosial, hukum pidana, dan etika. Syariah dalam dimensi muammalah sejatinya juga dapat menjadi pedoman bagi manusia dalam menyikapi disrupsi digital menuju terwujudnya Global Smart Society di era 5.0.
“Disrupsi secara sederhana dimaknai sebagai suatu perubahan dalam arti yang sangat spesifik. Secara alamiah (by nature), selalu ada yang lahir, berkembang, berjaya, pudar, hingga akhirnya menghilang, dan (dalam beberapa hal) muncul kembali dalam bentuknya yang baru. Islam secara teologis memiliki istilah dan konsep yang spesifik, yakni Taghayyur. Secara lebih spesifik lagi di bidang hukum dikenal sebagai Taghayyur al-Ahkam. Terkait dengan konsep Taghayyur al-Ahkam ini, Al Qur’an sebagai sumber utama syariah memiliki salah satu fungsi pokok sebagai pendorong lahirnya berbagai perubahan positif bagi kemaslahatan kehidupan individu dan masyarakat,” papar Wahiduddin.
Konstitusi Berketuhanan
Dalam ceramahnya, Wahiduddin menjelaskan UUD 1945 merupakan salah satu contoh terbaik jika hendak mencari contoh-contoh konstitusi negara di dunia yang dapat diklasifikasikan sebagai konstitusi yang berketuhanan mengingat begitu banyaknya kata “Tuhan” yang tercantum di dalam UUD 1945. Ia menyebut, dalam praktik pembentukan hukum di Indonesia (baik pembentukan peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan) juga selalu terdapat pengakuan (rekognisi) terhadap peran Tuhan agar setiap upaya penegakannya senantiasa mendapat keberkahan dan pertolongan dari Tuhan. Dalam setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia, selalu terdapat frasa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” pada bagian awalnya.
“Begitu pula dalam setiap pengadilan yang juga selalu diawali dengan irah-irah 'Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan yang Maha Esa'. Hal ini setidaknya menunjukkan 2 (dua) hal penting, bahwa: 1). Indonesia, meskipun bukan merupakan negara yang berdasarkan atas agama (tertentu), merupakan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; dan 2). Setiap produk hukum yang melanggar ajaran-ajaran Tuhan harus dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, termasuk dan khususnya berbagai produk hukum di bidang perekonomian dan/atau yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” terang pria kelahiran Palembang tersebut.
Dikatakan Wahiduddin, UUD 1945 saat ditetapkan pada 18 Agustus 1945, belum memuat konsep dan istilah ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih lagi transformasi digital. Namun dalam perkembangannya, para penyusun empat kali perubahan UUD 1945 secara tegas dan visioner mencantumkan norma konstitusi dalam Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 sebagai salah satu hasil nyata dari perubahan keempat UUD 1945. Selain itu, dalam perubahan kedua UUD 1945, pemanfaatan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah diatur sebagai jaminan HAM dalam Pasal 28C dan Pasal 28F UUD 1945.
“Dengan demikian, Indonesia sejatinya telah memiliki landasan konstitusional yang tegas dan visioner bahwa pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tugas Pemerintah yang harus dilakukan dengan syarat utama, menunjung tinggi nilai-nilai agama. Setelah syarat ini terpenuhi, barulah dipenuhi pula syarat-syarat lain bahwa suatu pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga harus dilakukan demi persatuan bangsa dalam arti pengutamaan kepentingan nasional, tetapi sekaligus juga ditujukan untuk ‘kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia’ agar negara, setiap warga negara, maupun setiap Badan Hukum Indonesia, tidak terjebak pada sifat dan sikap chauvinistik. Adapun terkait konsep smart society, Islam sejatinya menawarkan konsep masyarakat madani sebagai suatu tatanan sosial yang diterapkan oleh Rasulullah Muhammad Saw pasca disepakatinya Piagam Madinah,”ucap Wahiduddin.
Di akhir sambutannya, ia menegaskan, salah satu tantangan besar bagi kita sebagai umat manusia dan warga dunia dalam konteks transformasi digital untuk mewujudkan smart society di era 5.0., khususnya para wisudawan UIN Raden Fatah Palembang, adalah memastikan terwujudnya kesejahteraan umum bagi warga dunia. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.