JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) Turki sebagai Permanent Secretariat (Center for Training and Human Resources Development) dari Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) atau Asosiasi MK dan Lembaga Sejenis se-Asia, mengadakan "The 10th Summer School program" pada 21-24 September 2022. Tema yang diangkat yaitu “Interpretation of the Constitution in the Protection of Fundamental Rights and Freedoms” (Penafsiran Konstitusi dalam Perlindungan Hak dan Kebebasan Dasar).
Kegiatan yang berlangsung secara hybrid ini dibuka secara resmi oleh Presiden Mahkamah Konstitusi Turki, Zuhtu Arslan, pada Selasa (21/9/2022) sore waktu Indonesia. Pada kesempatan itu dilakukan sharing berbagai permasalahan dan kasus-kasus terkait eksekusi putusan peradilan konstitusi dari para peserta yang tergabung dalam keanggotaan AACC.
Penafsiran Konstitusi
Tiga Pegawai Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Agusweka Poltak Siregar, Intan Permata Putri dan Rizkisyabana Yulistyaputri menjadi peserta kegiatan ini. Selain melakukan diskusi dan sharing berbagai kasus, ketiga pegawai yang mewakili MKRI juga memaparkan makalah "Interpretation of The Constitution in the Protection of Fundamental Rights and Freedoms” a study of Education Rights for Children dan A Decade Illegitimate Children Decision: Recognition and Protection for Equal Rights,”
Agusweka menjelaskan, Interpretasi konstitusi merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana menafsirkan Konstitusi. "Penafsiran UUD umumnya dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang sosial dan pandangan politik para penafsirnya,” ujar Agusweka.
Dalam makalahnya Agusweka menjelaskan, pada ketentuan Pasal 47 UU MK ditegaskan bahwa “Putusan MK telah mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.” Artinya sejak selesai putusan diucapkan atau dibacakan, sejak saat itu perintah putusan harus dilaksanakan. Ia mengatakan, putusan akhir mengisyaratkan bahwa putusan MK merupakan upaya pertama dan terakhir bagi pencari keadilan.
Tantangan Putusan Pengadilan
UUD 1945 dan UU MK telah mengakui bahwa putusan MK bersifat final and binding. Namun dalam praktiknya masih terdapat pengabaian dan bahkan menyanggah putusan MK.
Putusan MK pada dasarnya bersifat deklaratif dan konstitutif. Declaratory artinya putusan MK memuat keterangan tentang apa itu hukum. Sedangkan konstitutif, berarti meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum yang baru. Khusus dalam uji materiil, putusan MK bersifat deklaratif karena menyatakan bahwa norma hukum bertentangan dengan UUD 1945 dan sekaligus putusan tersebut meniadakan hukum dan terkadang menimbulkan ketentuan hukum baru.
Ketidaktaatan terhadap putusan merupakan tantangan bagi Mahkamah. Pengadilan membutuhkan tugas unit pelaksana atau lembaga penegak khusus untuk menjamin eksekusi putusan tanpa salah tafsir.
Sementara Intan Permata Putri dan Rizkisyabana Yulistyaputri menyampaikan setelah putusan MK, mekanisme pengakuan anak di luar nikah ditetapkan dalam dua pilihan yakni KUHPerdata untuk pengakuan sukarela dari ayah kandung. Putusan MK kedua, Upaya Hukum yang dapat ditempuh jika ayah Biologis tidak mau mengakui anaknya. Hingga sepuluh tahun, terdapat satu kasus yang diputus oleh PTN Banten, dan hambatan yang ditempuh dalam putusan tersebut adalah pengumpulan sampel tes DNA.
Hambatan dalam pengambilan tes DNA berkaca pada otoritas pengadilan di Skotlandia, Pengadilan dapat memaksa pengumpulan sampel maupun melakukan prosedur tes DNA. Pengakuan dari Ayah Biologis ini akan memiliki beberapa implikasi seperti pemenuhan hak waris, wasiat, kewarganegaraan dan administrasi kependudukan, dan lain sebagainya.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.