JAKARTA, HUMAS MKRI - Sulistya Tirtoutomo mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perkara Nomor 88/PUU-XX/2022 ini dlaksanakan pada Rabu (21/9/2022) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Sulistya Tirtoutomo (Pemohon) melalui kuasa hukum I Wayan Suka Wirawan mendalilkan Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, Pasal 20 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 2 ayat (4), Pasal 52 UU KIP bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kasus konkret, Pemohon dan Soeprawiro Ing Widjojo telah bercerai berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 82/Pdt.G/2002/PN.Sby tanggal 23 April 2002. Pemohon mempersoalkan tanah berikut bangunan rumah di Mansion Park Blok MP I Kav. No. 10 Citraland City, Kelurahan Jeruk, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, Jawa Timur yang dibeli oleh Soeprawiro Ing Widjojo (mantan suami Pemohon) yang merupakan (seharusnya) aset bersama.
Di dalam putusan tersebut mantan suami Pemohon menolak untuk membagi harta bersama. Atas persoalan tersebut, Pemohon mengajukan upaya hukum melalui gugatan perdata terhadap pembagian harta bersama tersebut. untuk itu, Pemohon membutuhkan salinan sertifikat berikut warkah tanah atas rumah tersebut. Namun sertifikat ataupun salinannya tidak dapat diperoleh karena Pemohon saat proses pembuatan Akta Jual Beli (AJB) dan balik nama atas rumah tidak dilibatkan sama sekali. Kendala ini membawa Pemohon menuju institusi Kantor Pertanahan untuk membukakan informasi terkait bidang pertanahan. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan alasan hal demikian termasuk informasi yang dikecualikan. Kemudian Pemohon mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik kepada Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur (KIP Jatim).
“Tidaklah berdasar hukum dan bahkan melanggar hukum jika informasi ini dikategorikan informasi yang dikecualikan, informasi yang dimaksudkan berupa salinan sertifikat dan warkah tanah yang disimpan oleh kantor pertanahan Surabaya,” jelas Wayan dalam sidang yang diikutinya secara virtual.
Ketidakpastian Aturan
Lagi-lagi, Pemohon menemui masalah karena proses penyelesaian sengketa yang berlarut-larut hingga 225 hari sejak Pemohon mengajukan permohonan. Terkait berbagai rentetan persoalan yang dialami, Pemohon menilai keberlakuan Pasal 2 ayat (4) UU KIP telah merugikan hak konstitusionalnya terutama Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, penentuan informasi publik sebagai informasi yang dikecualikan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kebermanfaatan daripada keadilan.
Selengkapnya Pasal 2 ayat (4) UU KIP menyatakan, “Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya”.
Berikutnya Pemohon juga beranggapan ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, Pasal 20 ayat (1) UU KIP tersebut kabur. Sebab pasal-pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian pelaksanaan aturan yang diinterpretasikan oleh lembaga yang berwenang dalam menangani sengketa informasi publik karena normanya dinilai terlalu umum. Dalam situasi ini, sambung Wayan, Mahkamah berkewajiban menghentikan ketidakpastian penerapan aturan yang justru disebabkan ketidakpastian aturan yang bersifat umum, sebagaimana pendirian Mahkamah, hal demikian termasuk masalah konstitusionalitas norma.
“Mohon untuk dipahami memberikan keadilan yang sama sekali tidak dihiraukan, hanya untuk memperjuangkan hak saja dihalangi mekanisme birokrasi yang semacam itu. Terkait dengan permohonan yang telah dilakukan oleh kantor pertanahan maupun komisi informasi Jawa Timur bahwa betapa tidak adilnya apabila institusi publik dalam menolak tidak melakukan uji konsekuensi karena UU a quo bisa saja dikonstruksikan sebagai tindakan yang bersifat delik,” jelas Wayan.
Sistematika Permohonan
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan nasihat agar Pemohon melengkapi bagian kewenangan MK. Kemudian pada bagian kedudukan hukum, Pemohon perlu menambahkan kerugian yang dialami yang terkait dengan hak dari Pemohon yang dilanggar oleh UU yang diujikan. Contoh kasus yang dialami Pemohon dapat dijadikan pintu masuk pada permohonan perkara ini, namun perlu dibuatkan alasan yang dihadapkan dengan norma yang diujikan.
“Inilah yang perlu dipertajam letak pertentangannya. Penjelasan materi muatannya bertentangan dengan UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujiannya sehingga tak perlu terlalu jauh pada kasus yang dialami Pemohon yang diuaraikan dalam positanya. Cukup pasal-pasal yang dimohonkan diujikan dianggap bertentangan dengan UUD 1945” kata Wahiduddin.
Berikutnya Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan nasihat berupa uraian legal standing yang terlalu panjang supaya diringkas sebagaimana unsur-unsur yang termuat pada Pasal 51 UU MK tentang kerugian konstitusional Pemohon. Pada permohonan ini, sambung Suhartoyo, narasi perkara konkret yang dialami tersebut yang terjadi pada 22 Agustus 2022 ini dapat dijelaskan tentang kelanjutan perkaranya. Selanjutnya pada alasan permohonan perlu dicermati kembali peristiwa yang dialami oleh Pemohon dalam tataran implementasi dan bukan pada ranah norma.
“Selain itu, dalam konteks konsumsi publik, permohonan untuk pada bagian petitum coba dicermati kembali konstruksi petitum yang diajukan, apakah sudah benar menurut yang lazim diajukan ke Mahkamah Konstitusi,” kata Suhartoyo.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul meminta Pemohon untuk meringkas teori-teori yang diuraikan dalam permohonan sehingga lebih mudah dimengerti dan menjadi jalan masuk untuk mempersoalkan norma yang dianggap merugikan Pemohon. Sehingga kedudukan hukum Pemohon atas peristiwa konkret tersebut semakin jelas karena norma yang diujikan berkaitan dengan kerugian yang dialami Pemohon. Selain itu, Manahan juga menyarankan agar Pemohon mempelajari Putusan MK Nomor 3/PUU-XIV/2016, 45/PUU-XVII/2019, dan 64/PUU-XIV/2016 untuk mempelajari perkara yang pernah menguji norma yang serupa meski putusannya Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).
Sebelum menutup sidang, Manahan menyampaikan, Mahkamah memberikan waktu kepada Pemohon selambat-lambatnya hingga 4 Oktober 2022 pukul 14.00 WIB untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan dapat kemudian diserahkan kepada Kepaniteraan MK dan untuk selanjutnya diagendakan sidang penyampaian perbaikan permohonan.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.