JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945 pada Selasa (20/9/2022), dengan agenda mendengarkan keterangan saksi Pemohon. Perkara dengan Nomor 61/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Octolin H Hutagalung, Muhammad Nuzul Wibawa, Imran Nating, dkk. Adapun norma yang diujikan adalah Pasal 54 KUHAP.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Petrus Bala Pattyona yang merupakan saksi yang dihadirkan oleh Pemohon mengatakan, sebagai advokat yang telah lama berpraktik, pihaknya ingin memberikan kesaksian tentang pengalamannya ditolak ketika mendampingi saksi. Dia menyebut Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai dua instansi yang menolaknya. Pada saat itu, ia mendampingi saksi, yakni Brigjen Polisi Prasetijo Utomo yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra.
“Kejadiannya di 2020 bulan Agustus, pada saat itu saya mendampingi Brigjen Prasetijo untuk diperiksa sebagai saksi. Dilain waktu, pada saat yang bersamaan dia juga sebagai tersangka. Pada saat pemeriksaan sebagai tersangka karena itu adalah hak tersangka untuk didampingi maka tidak ada masalah. Tetapi ketika mendampingi sebagai saksi terjadi debat karena penyidik mengatakan bahwa tidak ada aturan atau tidak ada kewajiban dari penyidik untuk membolehkan penasihat hukum mendampingi saksi, pada saat itu juga kami bertanya tidak ada larangan juga bagi penasihat hukum untuk mendampingi saksi,” ujar Petrus secara daring.
Baca juga:
Dianggap Halangi Profesi Advokat, KUHAP Diuji
Pandangan DPR, Polri dan KPK Soal Pendampingan Saksi Saat Pemeriksaan
Lebih lanjut Petrus menjelaskan, akhirnya terjadi debat dan ia juga menanyakan siapa yang melakukan penetapan peraturan tersebut. “Dari Direktur Tindak Pidana Korupsi dijabat oleh Djoko Purwanto, menyatakan ada peraturan Polri Tahun 2013. Sehingga terjadi debat dan akhirnya disuruh meninggalkan ruangan,” terang Petrus.
Atas debat itu, sambung Petrus, sebagai pengacara merasa dirugikan dari segi hak-hak konstitusional karena dengan tidak mendampingi saksi secara profesi. Ia merasa tidak menjalankan pekerjaan.
“Tetapi menurut saya kerugian konstitusional adalah dalam hal pekerjaan dan penghidupan, karena merupakan profesi pengacara dalam pendampingan adalah dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 27 hak kami mendampingi dihubungkan dengan kerugian konstitusional saya merasa dirugikan. Itu kasus yang pertama,” jelas Petrus.
Petrus juga menerangkan, ia juga mengalami hal yang sama pada kasus sebelum 2020, ketika ia mendampingi saksi dalam kasus Tommy Soeharto terkait kasus pembunuhan Hakim Agung Syafruddin. Pada waktu itu, ia melanjutkan tidak boleh mendampingi saksi dengan alasan tidak ada kewajiban penasihat hukum mendampingi.
“Tetapi kami katakan tidak ada larangan. Waktu itu memang belum tren debat-debat konstitusional belakangan ini baru kita bisa mengaikatkan semua larangan harus bersifat konstitusional dan karena larangan-larangan dalam pendampingan para saksi saya sebagai advokat merasa dirugikan,” imbuh Petrus.
Baca juga:
KUHAP Jamin Hak Tersangka dan Terdakwa
Peradi: Advokat Punya Hak Mendampingi Saksi dalam Proses Pemeriksaan
Menurut Petrus, penolakan advokat mendampingi saksi terjadi berulang kali karena dinilai tidak menjadi sebuah kewajiban. Artinya, kalau tidak menerangkan sesungguhnya sesuai peristiwa sebenarnya akan dikenakan keterangan palsu. Ketika sudah menjadi tersangka dan ingin memberikan keterangan dalam hal tidak menjawab, membantah dan seterusnya penyidik mengatakan bagaimana keterangan sebelumnya sebagai saksi. Jadi kerugian bukan hanya dalam menjalankan profesi kami sesuai pengacara tetapi juga bagi pencari keadilan, mereka tidak ada kepastian untuk membela diri.
“Oleh karena itu melalui pengujian ini saya sangat berterima kasih supaya MK dapat memberikan tafsir konstitusional apakah ini sesuatu keharusan mendampingi atau cukup dengan pilihan bahwa saksi berhak menentukan untuk mendampingi sepanjang saksi menghendaki. Kalau kita melihat dari kepentingan penyidik sementara, kepentingan saksi tidak dilihat maka potensi kerugiannya menjadi besar. Pencari keadilan atau saksi dari segi profesi pengacara mengalami kerugian konstitusional,” urai Petrus.
Oleh karena itu, Petrus menegaskan, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami, ia meminta MK untuk memberi tafsir konstitusional yakni tafsir bersyarat terkait apakah penyidik membolehkan saksi didampingi sepanjang dikehendaki sebagai saksi atau sepanjang saksi menjadi tersangka.
“Inilah-inilah yang saya alami karena masalahnya pengaturan dalam KUHAP itu sendiri tidak tegas sehingga tafsir yang dilakukan oleh Mabes Polri hanya dengan peraturan Kabereskrim, sementara KPK selain mengatakan ada SOP dan mengenai KPK ini hampir semua pengacara mengalami kecuali menjadi tersangka yang dipersilahkan tetapi kalau menjadi tersangka benar-benar dilarang bahkan saya mempunyai pengalaman mendampingi jadi saksi sementara tindakan-tindakan hukum atau apa yang dilakukan KPK terhadap seorang saksi sudah seperti tersangka contohnya pemblokiran rekening, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan seterusnya. Ini yang kami alami. Jadi tindakan-tindakan terhadap saksi tidak jelas sedangkan tindakan terhadap tersangka jelas. Sehingga hak-hak hukum bagi saksi menurut kami sudah sangat dirugikan. Bagi profesi pengacara dan pencari keadilan,” tandasnya.
Baca juga:
Jamin Ginting: Bantuan Penasihat Hukum juga Diperlukan Saksi dan Terperiksa
Ahli Pemohon Jelaskan Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Diusir
Sementara Bagia Nugraha mengatakan baru-baru ini ia mengalami suatu kejadian diusir dari ruangan oleh Penyidik pada saat mendampingi klien dalam statusnya sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Ia mengatakan telah memberikan surat kuasa dan surat kuasa beserta kartu anggota Peradi, namun ditolak dengan alasan kliennya masih berstatus sebagai saksi.
“Lalu saya berdebat dengan penyidik dan mengatakan bang ini ada di Pasal 18 UU Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang yang diperiksa itu berhak mendapatkan bantuan hukum dan penyidik itu berkata kita ini punya hukum formil, hukum formil itu dari KUHAP. Di KUHAP secara tegas tidak menyatakan saksi itu berhak mendapatkan bantuan hukum. Lalu kemudian penyidik tersebut mengancam bahwa apa perlu Klien anda ini saya naikkan statusnya jadi tersangka. Mendengar hal tersebut saya kemudian tidak mendebat dan kemudian keluar dari ruangan penyidik,” urai Bagia.
Dalam keterangan tertulisnya, Bagia menjelaskan, pemeriksaan terhadap seorang saksi yang masuk dalam tahap materi pemeriksaan sudah selayaknya didampingi advokat. Pendampingan dilakukan oleh advokat dalam rangka menjaga netralitas pemeriksaan agar tidak terjadi tekanan dalam proses penegakan hukum. Dalam tahapan penyelidikan/penyidikan sebagai bagian dari tahap pra-judikasi, saksi dapat berperan menentukan apakah suatu dugaan tindak pidana benar telah terjadi atau tidak. Saksi juga berperan dalam penentuan status hukum seseorang, yang semula dalam kondisi bebas, kemudian diubah statusnya menjadi tersangka yang kepadanya dapat dilakukan tindakan hukum paksa berdasarkan undang-undang.
"Pengusiran dan intimidasi yang pernah saya alami ketika mendampingi Klien sebagai Saksi dalam perkara pidana sebagai akibat dari implementasi Pasal 54 KUHAP tentunya merupakan suatu pelanggaran konstitutional, baik kepada setiap warga negara yang berhadapan hukum sebagai Saksi, maupun saya selaku Advokat yang memiliki tugas dan tanggung jawab menegakkan hak-hak klien di hadapan hukum," tandas Bagia.
Sebagai informasi, permohonan Nomor 61/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil KUHAP ini diajukan oleh Octolin H Hutagalung dan sebelas Pemohon lainnya. Para Pemohon yang berprofesi sebagai advokat menguji Pasal 54 KUHAP yang berbunyi, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Para Pemohon beranggapan bahwa dalam proses perkara pidana, advokat sering dimintai jasa hukumnya untuk mendampingi seseorang, baik dalam kapasitasnya sebagai pelapor, terlapor, saksi, tersangka maupun terdakwa. Menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 54 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat dalam menjalankan profesinya, mengingat tidak adanya ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang mengatur tentang hak seorang saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum serta didampingi oleh penasihat hukum dalam memberikan keterangan di muka penyidik, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 54 KUHAP Konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim