JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) pada Senin (19/9/2022). Sidang perkara Nomor 82/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh lima Pemohon yang terdiri atas Islamil Hasani dan Laurensius Arliman yang berprofesi sebagai dosen, Bayu Satria Utomo yang merupakan mahasiswa, dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Sidang Panel ini dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Para Pemohon melalui kuasa hukum Sayyidatul Insiyah dan Shevierra Danmadiyah dalam persidangan menyampaikan beberapa hal perbaikan untuk menyempurnakan permohonan sebelumnya. Yakni, menyempurnakan kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon yang dilandaskan pada Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, penjelasan mengenai pengajuan uji formil undang-undang yang berpedoman pada beberapa putusan MK, mempertegas norma yang dijadikan batu pengujian, uraian mengenai naskah akademik rancangan undang-undang yang diujikan, dan menambahkan argumentasi keberadaan UU yang diujikan digunakan untuk pelegalan UU Cipta Kerja.
“Kami menyertakan pula bukti-bukti media yang terkait dengan perubahan teknis dalam pengesahan UU P3 yang terkait dengan UU Ciptaker. Selain itu, kami juga memasukkan hasil observasi dari kanal Youtube TV Parlemen atas diskusi kampus yang dilakukan DPR dalam perancangan UU tersebut,” sebut Shevierra Danmadiyah dalam sidang yang dihadirinya secara daring beserta kuasa hukum yang lain dan para prinsipal.
Baca juga:
Revisi UU P3 Dinilai Tak Memenuhi Syarat
Sebagai tambahan informasi, pada sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Senin (5/9/2022) lalu, para Pemohon menilai revisi kedua UU P3 tidak memenuhi syarat sebagai RUU kumulatif terbuka. Sebab, UU tersebut bukanlah suatu bentuk tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 karena putusan tersebut sama sekali tidak menyebutkan UU P3 bertentangan dengan UUD 1945. Hal yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang bermasalah, di antaranya, Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 72 ayat (1) huruf a, Pasal 73 ayat (1), Pasal 96 ayat (3).
Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan proses pembahasan UU P3 tidak memperhatikan partisipasi masyarakat dan dilakukan secara tergesa-gesa. Sebab, pada praktik partisipasi dalam pembentukan revisi UU P3 hanya sampai pada tangga “informing” karena informasi hanya diberikan secara satu arah dari pembentuk undang-undang ke publik tanpa adanya saluran untuk memberikan umpan balik dan tidak ada kekuatan untuk negosiasi. Alat komunikasi yang sering digunakan untuk komunikasi ini hanyalah media berita, pamflet, poster, dan alat komunikasi sederhana lainya.
Berikutnya, para Pemohon juga menyebutkan UU P3 merupakan inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 8 Februari 2022 yang disahkan pada 24 Mei 2022. Sehingga proses pembahasan hanya dilakukan selama 7 April 2022 hingga 24 Mei 2022. Di samping itu, para Pemohon mengatakan pembentukan UU P3 melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh karenanya, revisi dari UU P3 tidak mengindahkan asas kejelasan tujuan, asas kelembagaan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.