JAKARTA, HUMAS MKRI - Sebuah undang-undang di Indonesia dibentuk dengan permasalahan yang kompleks, terutama saat relasi antara pemilih dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terputus setelah pemilihan umum (pemilu). Posisi pemilih yang tidak memiliki kendali terhadap pembentuk undang-undang tersebut, menyebabkan potensi undang-undang yang dihasilkan jauh dari harapan para pemilih. Oleh karenanya perlu ada pagar berupa asas yakni asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas materi muatannya.
Hal tersebut disampaikan Feri Amsari selaku Ahli yang dihadirkan Partai Buruh dan sejumlah perorangan dalam sidang uji formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Sidang keenam dari permohonan Nomor 69/PUU-XX/2022 ini digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (15/9/2022) secara daring.
Lebih lanjut Feri menjelaskan, berbicara asas dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan melalui lima tahapan pembentukannya, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan. Mengenai tata cara tersebut telah pula diatur pada Pasal 20 UUD 1945, terutama tentang keterlibatan Presiden. Sementara delegasi konstitusional mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dalam Pasal 22A UUD 1945. Oleh karenanya, tidak terdapat alasan yang dapat membantah segala sesuatu yang diatur dalam UU P3 tersebut konstitusional sampai persidangan Mahkamah Konstitusi dapat membuktikan melalui Putusan Mahkamah. Meskipun berlandaskan pada UU P3, tidak berarti pembentuk undang-undang tidak melanggar nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi.
Hanya Satu Asas yang Tepat
Berikutnya Feri menjelaskan, berpedoman pada Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan tujuh asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
“Dari tujuh asas pembentukan peraturan itu, setidak-tidaknya pembentukan UU Nomor 13 Tahun 2022 telah menentang 6 asas dan hanya satu asas yang sesuai, yakni asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat,” kata Feri yang merupakan dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang yang menghadiri sidang secara daring.
Dualisme Asas Keterbukaan
Berikutnya sehubungan dengan perbaikan UU P3, Feri melihat telah menimbulkan dualisme asas keterbukaan antara perihal di atas kertas dan pelaksanaannya. Penjelasan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 13 Tahun 2022 tersebut menurut Feri tidak memiliki permasalahan. Kedua penjelasan tersebut saling mendukung proses keterbukaan. Namun demikian, dari gagasan keterbukaan dari kedua norma tersebut, tidak satu pun yang dijalankan oleh pembentuk undang-undnag. Bahkan, sambung Feri, masih terdapat ketertutupan akses dalam memberikan masukan melalui berbagai cara. Sehingga terhadap hal yang dicita-citakan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tidak terimplementasi di lapangan.
“Pembentuk undang-undang sering menyampaikan prinsip keterbukaan dalam setiap tahapan, meskipun Mahkamah dalam putusannya merasa cukup dengan tiga tahapan saja, namun dapat diketahui keterbukaan yang diharapkan publik dan diperintahkan Mahkamah lebih banyak slogan dibandingkan upaya membuka ruang partisipasi publik. Sifat partisipasi hanya seremonial saja dan jika memang terbukti keenam asas pembentukan itu tidak dilaksanakan atau tidak tertib pelaksanaannya, maka memang UU Nomor 13 Tahun 2022 ini telah cacat formil,” jelas Feri.
Sidang pleno ini dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi. Sebelum menutup persidangan, Anwar menyebutkan sidang berikutnya akan digelar pada Kamis, 22 September 2022 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan 2 Ahli dan 2 Saksi dari Presiden/Pemerintah. Untuk itu, Ahli yang akan dihadirkan pada persidangan mendatang dapat mengajukan CV dan keterangan tertulis setidaknya dua hari sebelum hari sidang yang telah ditentukan tersebut.
Baca juga:
Berpotensi Hidupkan Kembali UU Ciptaker, Partai Buruh Uji UU P3
Partai Buruh Fokus Pengujian Formil UU P3
Majelis Hakim Periksa Keaslian Tanda Tangan Pemohon Uji Formil UU P3
Pemerintah Tanggapi Tudingan Partai Buruh Soal UU P3
Supriansa: Proses Penyusunan UU P3 Telah Memenuhi Asas Keterbukaan
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 69/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian formil UU P3 diajukan oleh Partai Buruh yang diwakili Said Iqbal dan Ferri Nuzarli, serta para Pemohon perorangan yaitu, Ramidi, Riden Hatam Aziz, R. Abdullah, Agus Ruli Ardiansyah, Ilhamsyah, Sunandar, Didi Suprijadi, serta Hendrik Hutagalung.
Said Iqbal dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (14/7/2022) menyebutkan pengesahan UU P3 dapat ‘menghidupkan kembali’ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang telah diputus oleh MK. Oleh karena itu, Pemohon merasa perlu memastikan UU P3 yang akan dijadikan pintu masuk untuk membahas kembali UU Cipta Kerja tersebut agar dinyatakan tidak berlaku atau tidak sah oleh MK.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.