JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua dari pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Kamis (15/9/2022). Sidang Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini digelar pada Kamis (15/9/2022) di Ruang Sidang Panel MK. Dalam permohonan, Pemohon menyatakan Pasal 187 ayat (1), Pasal 187 ayat (5), Pasal 189 ayat (1), Pasal 189 ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Fadli Ramadhanil selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan beberapa penyempurnaan permohonan yang dilakukan, di antaranya pihaknya telah menyertakan pasal-pasal yang diujikan dalam UU Pemilu, memperbaiki kewenangan Mahkamah menjadi lebih sistematis, memberikan penjelasan mengenai pasal-pasal yang diujikan serta pertentangannya dengan UUD 1945. Karena ini adalah pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sambungnya, maka Mahkamah berwenang memutus permohonan ini.
Berikutnya, Pemohon juga telah menguraikan kedudukan hukum Pemohon sebagai organisasi yang melakukan kajian dan pendidikan untuk mewujudkan proses pemilu yang adil sehingga sebagaimana disebutkan pada Akta Perludem, peraturan organisasi yang berlaku hingga saat ini adalah sah. Jika ada perubahan pengurus, maka akan dibuatkan dalam akta yang berlaku. Dengan uraian tersebut, jelas Fadli, Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam perkara ini. Berkaitan dengan alasan permohonan menyampaikan beberapa perbaikan dengan memasukkan berbagai literatur dan menyertai bentuk inkonsistensi atas ketidakjelasan aturan yang ada pada norma tersebut.
“Selanjutnya perbaikan bagian lain juga menyandingkan tabel perbandingan pengaturan pemilihan dari 1999 – saat ini. bagaimana pengaturan daerah pemilihan semua menjadi kewenangan KPU,” jelas Fadli dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul tersebut.
Data Perludem
Dalam sidang yang sama, Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan mengenai penyimpangan dapil terbanyak yang ditemukan oleh Pemohon. “Itu kalau dilihat paling banyak penyimpangan ada dalam penyusunan dapil DPR RI atau dapil DPRD Provinsi dari data Perludem? Terlepas dari daerah baru yang tidak terakomodir di dalamnya,” tanyanya.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Heroik Mutaqin Pratama menjelaskan bahwa Perludem menemukan dua daerah untuk dapil DPR RI, yaitu Dapil Jawa Barat III dan Dapil Kalimantan Selatan II. Untuk Dapil Jawa Barat III, lanjutnya, Kota Bogor disatukan oleh Kabupaten Cianjur padahal keduanya tidak terletak berdekatan dan di antara keduanya terdapat Kabupaten Bogor. Sementara Dapil Kalimantan Selatan II meletakkan Kota Banjar sendirian dan tidak disatukan oleh daerah lain. “Untuk DPRD, yang melanggar prinsip integralitas wilayah, adalah DKI Jakarta dan juga ada di Lampung,” ujarnya.
Baca juga: Perludem Persoalkan Aturan Dapil bagi Daerah Otonomi Baru dalam UU Pemilu
Sebagai informasi, dalam permohonan Pemohon menyatakan urgensi penyusunan daerah pemilihan harus memenuhi prinsip daulat rakyat dan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebab, pemilihan umum merupakan sarana untuk mengejawantahkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Penyusunan daerah pemilihan tersebut juga menjadi salah satu tahapan yang penting di awal proses penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ini guna memastikan prinsip keterwakilan yang dilakukan melalui proses pemilihan umum sesuai dengan prinsip pemilu yang jujur, adil, proporsional, dan demokratis.
Pemohon juga menyatakan pembuktian penyusunan daerah pemilihan bertentangan dengan prinsip dan alokasi kursi DPR dan DPRD Provinsi yang diatur dalam norma tersebut. Prinsip utama seperti keseteraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional tersebut membatasi ruang realokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan baru untuk Pemilu DPR dan DPRD di Daerah Otonom Baru. Norma ini, mengatur jumlah alokasi kursi dan batas-batas wilayah dalam suatu daerah pemilihan DPR ke dalam lampiran III, namun tidak mengatur mekanisme pembentukan daerah pemilihan untuk daerah otonomi baru.
Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan Pasal 187 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185”. Menyatakan Pasal 187 ayat (5) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU”. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina