JAKARTA, HUMAS MKRI – Perubahan nama daerah, pemberian nama—termasuk di dalamnya pemindahan ibu kota serta perubahan nama ibu kota ditetapkan melalui peraturan pemerintah. Sehingga, instrumen hukum untuk pemindahan ibu kota ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Demikian keterangan yang disampaikan Ichsan Anwary selaku Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 dan Nomor 59/PUU-XX/2022. Keterangan tersebut disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin tersebut dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU Kalsel) yang digelar pada Selasa (13/9/2022). Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022, 59/PUU-XX/2022, dan 60/PUU-XX/2022 tersebut dimohonkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Banjarmasin (Pemohon I) dan sejumlah Pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin (Pemohon II, III, IV,V) serta Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Kalimantan Selatan Harry Wijaya.
Lebih lanjut Ichsan menerangkan berkenaan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, undang-undang yang berlaku saat ini yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan tersebut terdapat tujuh pokok tujuan penataan daerah, di antaranya mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat; mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah; dan memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalimantan Selatan
Selanjutnya, sehubungan dengan pembentukan dan penyesuaian daerah tersebut, dapat pula dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) berupa perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan pemindahan ibu kota ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
“Dengan demikian materi atau pengaturan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 (UU Kalimantas Selatan) tersebut yang melakukan perubahan Ibu Kota Provinsi dari Banjarmasin ke Kota Banjarbaru termasuk dalam pengaturan yang harus ditetapkan dengan instrumen hukum berupa peraturan pemerintah, bukan dengan atau diatur di dalam Undang-Undang,” jelas Ichsan dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dari Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Baca juga: Pemindahan Ibu Kota Provinsi Selaras dengan Visi Kota Banjarbaru
Ichsan juga menjelaskan dalam undang-undang sebelumnya—yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur pada Pasal 2 ayat (1), pada intinya menyebutkan Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Banjarmasin. Dengan kata lain, sambung Ichsan, Undang-Undang Kalimantan Selatan masih belum dapat dilaksanakan karena di dalam norma tersebut tidak diatur mengenai teknis seperti pengaturan masa transisi pemindahan ibu kota, termasuk pula dalam hal pendanaan dari pemindahan ibu kota tersebut.
“Inilah ratio legis mengapa berkenaan dengan pemindahan ibu kota harus diatur dengan penetapan dengan instrumen hukum berupa peraturan pemerintah (PP). Dalam perspektif ini, maka Undang-undang Provinsi Kalimantan Selatan tidak memenuhi asas dapat dilaksanakan sebagaimana ditegaskan Undang-Undng Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebab, pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis,” terang Ichsan.
Baca juga: Pemohon Uji Konstitusionalitas Perpindahan Ibu Kota Kalsel Perbaiki Kedudukan Hukum
Tak Ada Pembahasan Pemindahan
Sementara dalam keterangan saksi, Pemohon menghadirkan Syahmardian yang merupakan Ketua Umum Sasangga Banua. Ia menceritakan mengenai keikutsertaan pihaknya dalam rapat diskusi perancangan perubahan UU Kalsel yang dilakukan secara daring dan luring dari Banjarmasin. Pada November 2020, pihaknya dilibatkan pula dalam rapat perencanaan perubahan UU Kalsel termasuk tentang manfaat dari pembentukannya bagi masyarakat. Pada acara tersebut juga membahas mengenai sejarah terbentuknya Provinsi Kalimantan Selatan dan perubahan-perubahan yang telah dialami daerah tersebut.
“Sesangga Banua pernah menyerahkan rekomendasi perubahan UU Kalsel, namun yang muncul adalah kesimpulan yang mengagendakan uji publik perubahan undang-undang yang tidak terealisasi sampai undang-undang (baru) disahkan. Justru kami sangat terkejut yang ada Undnag-Undang Kalimantas Selatan yang baru, dan bukan bentuknya perubahan. Dalam setiap pembahasan perubahan undang-undang tersebut, tidak ada pembahasan tentang pemindahan ibu kota dari Banjarmasin ke Banjarbaru,” ungkap Syahmardian.
Baca juga: Pemerintah Sebut Banjarbaru Dirancang sebagai Kota Penyangga Pembangunan IKN
Sebagai informasi, para Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 menjabarkan telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel karena dalam proses pembuatan norma tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat sehubungan dengan pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan. Selain itu, UU Provinsi Kalsel juga dinilai merugikan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Kota Banjarmasiin (Pemohon I) karena dengan rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi, terutama bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Kota Banjarmasin.
Sementara bagi Pemohon II, III, IV, dan V, menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota provinsi ini dapat merugikan para Pemohon karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas. Menurut para Pemohon, pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota tersebut dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.
Berikutnya dalam Perkara Nomor 59/PUU-XX/2022, para Pemohon dalam dalilnya menyatakan Pasal 4 UU Kalsel bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28D, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Secara historis para Pemohon melihat, Kota Banjarmasin memiliki peran penting dalam perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan sejak masa 1500-an yang dijadikan pusat pemerintahan. Dengan mengubah kedudukan Kota Banjarmasin sama dengan melakukan pembelokan sejarah. Sehingga pasal Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak adanya keadilan dalam menghargai historis Banjarmasin sebagai daerah yang masih kental dengan hak-hak tradisional Banjarmasin yang masih berkembang hingga saat ini sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Selatan. Untuk itu para Pemohon memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan UU Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarmasin dan pusat pemerintahan di Kota Banjarbaru”.
Sementara para Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022 menyatakan dalam proses pembentukan UU a quo tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara umum dan secara khusus DPR RI tidak ke Banjarmasin untuk datang langsung menampung aspirasi masyarakat. Selain itu, pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memperhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah. Hal ini terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru dan sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah Kota Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan, mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan rancangan undang-undang.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina