JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menerima dan menggelar sidang terhadap pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Robiyanto yang berprofesi sebagai wiraswasta. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 86/PUU-XX/2022 tersebut dilaksanakan pada Senin (12/9/2022). Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang berbunyi, ”mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun” didalilkan bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon dalam sidang menceritakan bahwa orang tuanya atas nama Taslim meninggal dunia pada 14 April 2002 akibat dibunuh secara sadis di Pasar Malam Balai, Kelurahan Karimun, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Atas kejadian ini, sambung Robiyanto, Pemohon melapor pada Kepolisian Resor Karimun. Terhadap laporan tersebut ditetapkan dua orang yang kemudian terpidana penjara selama 15 tahun, sedangkan 5 lima orang lainnya yang masuk pada daftar pencarian orang (DPO). Namun perkara atas 2 orang yang ditetapkan tersangka oleh Majelis Hakim dihentikan penyidikannya oleh Kepolisian Republik Indonesia dengan alasan hukum perkara daluwarsa sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP.
“Tahun 2021 kasus orang tua saya dinyatakan SP3, kami sudah putus asa, demi keadilan besar harapan agar permohonan kami dapat dikabulkan,” ucap Robiyanto selaku ahli waris yang menyampaikan harapannya pada Majelis Sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Selanjutnya Jhon Asron Purba selaku salah satu kuasa Pemohon mengatakan bahwa ketidakadilan masa daluwarsa penuntutan yang dialami Pemohon pada perkara ini, berpotensi membuat pelaku tindak pidana berat, keji, dan biadab yang semestinya dihukum mati atau seumur hidup tidak memperoleh hukuman sebagaimana perbuatannya. Selain itu, sambung Jhon, pasal a quo juga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon atas hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Sebab daluwarsanya masa penuntutan terhadap pelaku tindak pidana mati atau pidana penjara seumur hidup (dalam hal ini 20 tahun) yang daluwarsanya hanya 18 tahun. Di tambah pula, Pemohon berpotensi tidak adanya kepastian hukum terhadap kematian orang tua Pemohon terhadap 5 orang masih DPO dan belum ditemukan sampai saat ini.
“Bahkan 2 orang yang sudah ditetapkan Majelis Hakim sebagai tersangka kemudian diperintahkan diproses secara hukum pidana dan ditahan tersebut, tidak dapat dituntut di depan persidangan dan dinyatakan diberhentikan penyidikannya karena daluwarsa. Sehingga tidak ada keadilan atas kematian orang tua Pemohon dan tidak ada kepastian hukum terhadap pelaku-pelaku pembunuhan orang tua Pemohon,” ucap Jhon.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon dalam Petitumnya memohon pada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan materi muatan Pasal 78 Ayat 1 Angka (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lebih dari delapan belas tahun dan atau 36 tahun.”
Abstraksi Secara Umum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin memberikan nasihat di antaranya mengenai pokok perkara yang belum diuraikan pada permohonan, sehingga permohonan belum lengkap sebagaimana ketentuan sistematika hukum acara MK. Berikutnya, Pemohon juga diharapkan dapat menjabarkan kasus konkret yang dialami tersebut dapat diabstrasikan secara umum, sehingga tidak hanya berkaitan dengan perkara yang dialami Pemohon saja mengingat sifat Putusan MK yang berlaku bagi seluruh warga negara.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic. P. Foekh dalam nasihatnya agar Pemohon mencermati Peraturan MK Nomor 2/2021 tentang Tata Beracara dalam Pengujian UU (PMK 2/2021). Di dalamnya terdapat Pasal 10 PMK 2/2021 yang memuat beberapa bagian yang belum ada pada permohonan, seperti uraian identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, alasan-alasan permohonan/posita, perbedaan antara dalil pengujian formil dan materiil, serta bentuk-bentuk kerugian yang dialami oleh Pemohon.
“Terkait dengan posita hal ini sangat penting karena berkaitan bagun argumentasi yang bermuara pada hal yang dimohonkan pada Mahkamah, jadi hanya menggambarkan bukan persoalan inkonstitusionalitas norma tetapi implementasi norma,” jelas Daniel.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan poin nasihat mengenai narasi pada kedudukan hukum yang masih perlu dieksplorasi lagi sehingga syarat-syarat terlanggarnya hak konstitusional yang dialami benar-benar terlihat pertentangannya dengan norma yang diujikan pada perkara ini. Usai memberikan nasihat Majelis Sidang, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Perbaikan selambat-lambatnya dapat diberikan pada Senin, 26 September 2022 ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.