JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), pada Kamis (8/9/2022). Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 85/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irmalidarti selaku Bendahara Yayasan Perludem.
Adapun materi yang diujikan oleh Perludem yaitu Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pilkada.
Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada menyatakan, “Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.”
Pasal 157 ayat (2) UU Pilkada menyatakan, “Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.”
Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada menyatakan, “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”
Sidang panel dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Perludem (Pemohon) melalui kuasa hukum Fadli Ramadhanil dalam persidangan mengatakan sistem penyelesaian hasil pemilu yang efektif dan efisien dan berkeadilan penting dilakukan dalam proses penyelenggaraan pemilu yang efektif, efisien dan berkeadilan di dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota.
“Sistem penegakan hukum adalah salah satu instrumen dasar dan fundamental dari sebuah penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota agar sesuai dengan asas penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” tegas Fadli.
Fadli menegaskan, hal ini sangat penting dilakukan karena tingginya dimensi kontestasi, persaingan, potensi konflik di dalam proses kontestasi politik pada pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Banyak kepentingan di dalam perebutan pada proses pemilihan. Tidak jarang pula tindakan atau keputusan yang dilakukan baik oleh peserta pilkada, penyelenggara termasuk juga warga negara yang terlibat di dalam pemilihan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan kemenangan sistem hukum pemilu yang salah satunya adalah mekanisme penyelesaian hasil pilkada.
Dalam konteks hal tersebut, sambung Fadli, ketentuan penyelesaian perselisihan hasil merupakan bagian penting dari sistem penegakan sistem hukum. Proses penyelesaian hasil pilkada adalah garda terakhir untuk melindungi dan memberikan proteksi terhadap proses dan hasil pilkada tetap sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan berintegritas.
“Ketentuan dalam UU a quo menurut kami akan berakibat pada kacaunya proses penyelesaian hasil pilkada karena tidak mungkin menyiapkan suatu lembaga peradilan khusus dalam waktu singkat menjelang dimulainya tahapan pelaksanaan pilkada serentak secara nasional hingga saat ini belum ada bentuk lembaga seperti apa dan kewenangannya apa, mekanismenya seperti apa dan eksistensi kelembagaannya belum ada. Dengan ketentuan dan situasi tersebut menurut kami sebagai pemohon telah berakibat kepada terancamnya satu tahapan yang penting dari proses penyelenggaraan pilkada yaitu tahapan penyelesaian hasil pilkada,” ujarnya.
Lebih lanjut Fadli menjelaskan, ketentuan a quo juga berakibat atau berpotensi kacaunya proses penyelesaian hasil pilkada karena bagaimana mungkin pilkada yang merupakan tahapan yang sangat menentukan belum dipersiapkan sampai hari ini. Menurut Pemohon, putusan-putusan mutakhir MK dengan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil ketentuan dalam UU a quo bertentangan dengan UUD 1945.
Argumentasi Pemohon berikutnya adalah berkaitan dengan keadaan hukum baru setelah putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Munculnya ketentuan UU a quo berkaitan dengan badan khusus di dalam penyelesaian pilkada itu adalah menindaklanjuti putusan MK Nomor 97 Tahun 2003. Permohonan ini merupakan permohonan pengujian terhadap UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana saat ini kedua UU ini sudah dicabut dan tidak berlaku lagi.
Diadili MK
Dengan adanya ketentuan a quo yang masih mengatur badan peradilan khusus terkait penyelesaian perselisihan hasil pilkada telah membuat ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut karena kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pemilu termasuk pilkada adalah kewenangan MK. Ketentuan tersebut juga mengakibatkan ketidakpastian hukum dimana tafsir konstitusional terbaru MK telah menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah masuk ke dalam rezim pemilu. Bahkan MK juga menyatakan pemilihan kepala daerah dapat digabungkan waktu penyelenggaraannya dengan pemilihan presiden, DPR, DPD dan DPRD. Soal desain keserentakan yang dipilih, MK menyerahkan pada pembentuk UU sepanjang memerhatikan prasyarat yang juga secara ketat disebutkan oleh MK dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
UU Pilkada masih menyebutkan badan peradilan khusus sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan hasil pilkada. Menurut Pemohon, hal ini secara terang membuat ketidakpastian hukum yang serius. Maka sudah seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam petitum, Perludem memohon MK menyatakan Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perkara perselisihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.” Kemudian Pasal 157 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Perludem juga memohon MK menyatakan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Perludem, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan nasihat demi untuk menyempurnakan permohonan. Arief menyarankan Perludem agar menambahkan dan melengkapi kewenangan MK.
“Struktur dalam kewenangan ini harus dimulai dari UUD, UU Kekuasaan Kehakiman, UU MK dan UU mengenai PPP. Ini belum secara sistematis disebutkan atau diuraikan,” kata Arief.
Arief juga menasihati Perludem agar memperkuat kedudukan hukumnya sebagai badan hukum privat serta menunjukkan kerugian konstitusional yang dialami. “Sebagai badan hukum privat kerugian konstitusionalnya di mana?” tanya Arief.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihatnya mengatakan Perludem harus membangun argumentasi yang sangat kuat dalam alasan permohonan. Diakhir persidangan, Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa Perludem diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas akhir penyerahan perbaikan permohonan adalah Rabu, 21 September 2022, dua jam sebelum persidangan dimulai.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.