JAKARTA, HUMAS MKRI - Interaksi antarnegara sangat terbuka, oleh karenanya Indonesia perlu pondasi dan pedoman berupa Pancasila untuk menjadi senjata penangkal dan pegangan bagi masyarakat dalam menghadapi ketidakpastian perubahan di dunia internasional. Pernyataan tersebut disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Institut Islam Mamba’ul ‘Ulum (IIM) Surakarta pada Kamis (8/9/2022) secara daring.
Pada kegiatan bertema “Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusi Warga Negara dan Mutu Pendidikan Tinggi Hukum” ini Arief mengajak para mahasiswa untuk mengenal terlebih dahulu peran sentral dari pendiri bangsa, yakni Soekarno dan Moh. Hatta. Dalam rapat-rapat yang diikuti oleh kedua tokoh ini memiliki filosofi yang sangat perlu dijadikan teladan bagi generasi muda bangsa. Kedua tokoh tersebut berkumpul dalam rapat yang pesertanya heterogen, dengan latar belakang beragam yang menjadi potret kecil Indonesia.
Arief pun menceritakan pembahasan para pendiri bangsa dalam rapat BPUPK pada 18 Agustus 1945. Pada rapat atau sidang BPUPK tersebut terdapat teladan persatuan, soliditas, toleransi, dan tujuan visi, misi yang sama.
Selanjutnya Arief berbicara masa sekarang yang kian mendekati era society 5.0, terutama menyangkut penggunaan media sosial. Menurut Arief, media sosial belum digunakan oleh masyarakat dengan baik. Hal ini berdampak buruk bagi kehidupan bangsa Indonesia. Perkembangan media sosial sekarang menampilkan ideologi-ideologi yang dangkal, seperti hedonisme, konsumerisme, radikalisme, yang sangat jauh dari nilai-nilai ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila.
“Oleh karena itu, setiap 1 Juni masih menjadi hari yang perlu diperingati agar kembali diingatkan akan pentingnya memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang ada pada Pancasila. Sebab Indonesia adalah negara hukum, demokratis, dan berideologi dan berdasarkan Pancasila,” jelas Arief yang menyampaikan materi bertajuk “Membangun dan Mengembangkan Hukum Yang Berkarakter Pancasila” dari Ruang Kerja Hakim Konstitusi di Gedung MK, Jakarta.
Berhukum dan Bernegara
Vikibayu Mahendra, salah satu mahasiswa pada sesi tanya-jawab mengajukan pertanyaan mengenai adanya mahasiswa baru di salah satu kampus yang menyatakan diri memiliki jenis kelamin yang netral. Atas pemberitaan ini, ada pandangan yang meminta agar pihak kampus memberikan ruang atas hal ini. Terhadap kasus ini, Vikibayu mempertanyakan bagaimana korelasinya dengan nilai-nilai sila pertama Pancasila.
Menjawab pertanyaan Vikibayu, Arief menjabarkan bahwa dalam berhukum ada dua prinsip, yakni membuat hukum dan menegakkan hukum. Kedua hal ini, sambung Arief, berbeda antarsatu negara dengan negara lainnya. Arief mencontohkan penerapan ideologi di Indonesia, Turki, dan Pakistan. Ketiga negara ini mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi dalam kehidupan bernegara, penerapan ideologinya berbeda. Turki memilih menjadi negara sekuler. Pakistan memilih menjadi negara Islam. Sedangkan Indonesia memilih menjadi negara yang tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Nilai keyakinan agama secara universal diangkat dalam sila pertama Pancasila.
Dalam praktiknya, hukum Indonesia harus dilandaskan pada sinar ketuhanan. Misalnya, pada perkawinan di Indonesia sejak 1974 dengan adanya UU Perkawinan dibuat sebagai perjanjian luhur dari WNI dalam membentuk keluarga harus berlandaskan sinar ketuhanan. Sebab, sahnya perkawinan dilakukan menurut agama yang dianut warga Indonesia.
“Jadi, perkawinan di Indonesia tidak bersifat sekuler. Maka agama-agama di Indonesia tidak membolehkan perkawinan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai agama, seperti perkawinan sejenis, dan lainnya,” jawab Arief.
Berikutnya M. Alfi Khoerudin mempertanyakan tentang ideologi ateisme. Sekiranya ateisme hadir dalam masyarakat, apakah hal demikian bermakna seseorang tersebut menentang ideologi bangsa Indonesia? Atas pertanyaan ini, Arief menjawab Indonesia adalah negara yang religius. Setiap WNI dapat memeluk agama yang ada di Indonesia.
“Jika ada pihak yang mengupayakan penyebaran ateisme, maka negara dapat melakukan penindakan atas ini. Namun apabila ia sendiri maka hal demikian tidak menjadi suatu persoalan yang menjadi ranah negara. Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya pendekatan yang persuasif yang perlu dilakukan melalui binaan dari keluarga, masyarakat, dan negara agar seseorang tersebut kembali pada fitrahnya,” jelas Arief.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Nur R.