JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo kembali menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan VI. Pada kesempatan ini, Suhartoyo menyampaikan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi”, pada Rabu (7/9/2022) malam secara daring dari Gedung MK, Jakarta. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dengan Fakultas Hukum Universitas Pamulang (UNPAM).
Bicara mengenai Hukum Acara MK, ujar Suhartoyo, tidak terlepas dari kewenangan dan kewajiban MK. Kewenangan MK yang berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Menurutnya, kewenangan tersebut menjadi ciri khas, yakni ada Pemohon, namun tidak terdapat Termohon. Hal tersebut karena hal yang diuji adalah norma dalam undang-undang.
Dengan demikian, kata Suhartoyo, dalam pengujian undang-undang lebih dikenal dengan istilah permohonan, bukan gugatan. Berbeda dengan kewenangan-kewenangan MK lainnya, ada Pihak Pemohon dan Termohon. Misalnya, untuk perselisihan hasil pemilu dan hasil pilkada.
Kewenangan MK
Sebagaimana diketahui, selain berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, MK juga berwenang memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Selain itu MK memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilu. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR adanya dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tindak pidana. Kemudian, MK memiliki kewenangan tambahan yakni mengadili perkara-perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Kewenangan mengadili perkara pemilihan kepala daerah tidak diturunkan dari konstitusi.
Empat kewenangan dan satu kewajiban MK tersebut, ungkap Suhartoyo, merupakan perintah konstitusi. Sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 serta UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun tidak termasuk kewenangan tambahan MK yakni mengadili perkara-perkara sengketa pemilihan kepala daerah yang berdasarkan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Model Pengujian UU
Dikatakan Suhartoyo, dalam pengujian UU terhadap UUD terdapat dua model pengujian yakni pengujian formil dan pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Sementara pengujian materiil yaitu pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pada kesempatan yang sama Suhartoyo juga menjelaskan pemberian kuasa dalam beracara di MK. Pemberi kuasa dapat diwakili pejabat yang ditunjuk atau kuasanya. “Kuasa hukum yang beracara di MK tidak harus advokat,” ujar Suhartoyo.
Selain dapat menunjuk kuasa hukum, Suhartoyo melanjutkan, Pemohon dan/atau Termohon dapat didampingi oleh pendamping dengan membuat surat keterangan khusus untuk itu yang diserahkan kepada Hakim Konstitusi di dalam persidangan.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.