JAKARTA, HUMAS MKRI - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 6 UU 40/2004. Melalui Putusan MK Nomor 72/PUU-XVII/2019, MK mendefinisikan lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial tidak boleh tunggal atau hanya satu badan hukum saja, tetapi bisa dikelola oleh dua, tiga, atau lebih. Namun badan-badan tersebut harus dibentuk dengan undang-undang.
Demikian pembukaan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagai narasumber dalam kegiatan Rapat Kerja Nasional PT Taspen yang dilaksanakan pada Rabu (7/9/2022) di Jakarta. Dalam kegiatan ini, Suhartoyo menjabarkan mengenai “Sistem Jaminan Sosial dalam Tafsir Konstitusi” yang dikaitkan dengan beberapa Putusan MK yang selaras dengan keberadaan PT Taspen sebagai salah satu penyelenggara jaminan sosial.
Lebih lanjut Suhartoyo mengulas terkait dengan prinsip pada badan Persero salah satunya PT Taspen. Dalam pandangan Suhartoyo yang selaras dengan Mahkamah bahwa desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial harus sejalan dengan realitas beragamnya pekerjaan atau profesi yang dapat dipilih oleh setiap orang sesuai dengan kebebasannya untuk memilih pekerjaan. Karena itu, sambungnya, Persero yang telah ada dan berjalan dalam melaksanakan program jaminan sosial mesti menyesuaikan diri dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU 40/2004, baik dari bentuk hukum pembentukan maupun kedudukan, tugas serta fungsi masing-masing dalam menyelenggarakan jaminan sosial tanpa kehilangan entitas sebagai badan hukum. “Inilah alasan MK meminta agar badan yang ada untuk tetap dipertahankan,” jelas Suhartoyo.
Selanjutnya Suhartoyo menegaskan pula tentang adanya kebijakan peleburan persero seperti PT Taspen dan PT Asabri menjadi satu atap dalam BJPS Ketenagakerjaan, hal demikian bermakna berlawanan dengan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang saat membentuk UU 40/2004. Sebab, berimplikasi pada penerapan konsep lembaga tunggal dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Senada dengan hal ini, Suhartoyo menggarisbawahi bahwa wacana pengintegrasian lembaga penyelenggara jaminan sosial ini harus memotivasi badan usaha yang ada sekarang untuk melakukan inovasi dan eksistensi guna meningkatkan pelayanan bahkan jika diperlukan melakukan pengembagan modal sehingga memberikan manfaat yang lebih maksimal bagi pengguna jasanya.
Bukan Wilayah MK
Dalam sesi tanya jawab, Abdul Ghofur dari PT Taspen Kediri mempertanyakan mengenai adanya Putusan MK mengenai keberadaan PT Taspen yang tidak akan bersatu dengan badan penyelenggara jaminan sosial lainnya. Atas hal ini, Ghofur mempertanyakan apakah di masa mendatang PT Taspen akan tetap menjadi PT Taspen atau berubah menjadi lembaga-lembaga dengan bentuk/nama lain? Atas pertanyaan ini, Suhartoyo memberikan arahan bahwa pertanyaan demikian sesungguhnya bukanlah menjadi wilayah MK untuk mengakomodir, terutama jika berhubungan dengan RPP atau RUU sebab masuk pada ranah pengaturan sistem jaminan sosial, namun Suhartoyo mengingatkan agar dalam setiap kebijakan yang akan dibuat tersebut menyeleraskan diri dengan Putusan MK.
“Ketika ada peraturan di bawah UU menimbulkan persoalan dan berkaitan dnegan legalitas peraturan di bawah UU maka hal itu dapat diselesaikan di MA. Tetapi jika yang terjadi UU yang memuat normanya yang bertentangan dengan UUD 1945, maka itulah wilayah MK. Jika terdapat aturan yang sedang diselesaikan di MA, namun ada UU yang kemudian berkaitan dengan legalitasnya dengan UUD 1945 yang dinilai merugikan, maka perkara yang di MA tersebut dapat dihentikan sementara hingga adanya putusan oleh MK atas perkara norma tersebut,” terang Suhartoyo. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.