JAKARTA, HUMAS MKRI - UU Perkawinan merupakan perwujudan dari negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana termuat pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya pada kehidupan masyarakat Indonesia, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu bagi orang Hindu. Untuk menjalankan syariat tersebut, diperlukan perantaraan kekuasaan negara. Maka, dalam UU Perkawinan dasar hukum yang digunakan tidak lain adalah Pasal 29 UUD 1945, sehingga setiap pasal-pasal yang ada di dalam suatu norma harus dijiwai dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Artinya, semua ketentuan (termasuk perkawinan) harus sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menjadi syarat mutlak.
Demikian keterangan yang disampaikan Neng Djubaedah sebagai Ahli yang dihadirkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku Pihak Terkait, dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Rabu (7/9/2022). Sidang permohonan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Lebih lanjut Neng menyebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), akad perkawinan menjadi sah setelah memenuhi syarat perkawinan, di antaranya bagi calon mempelai laki-laki beragama Islam dan calon mempelai perempuan beragama Islam, di antara mereka tidak terdapat halangan untuk melangsungkan perkawinan atau halangan perkawinan karena perbedaan agama. Sehingga larangan perkawinan karena perbedaan agama bagi orang Islam di Indonesia terdapat dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang dihubungkan dengan Pasal 8 huruf f, Pasal 40 hururf c, dan Pasal 44 KHI.
“Menurut hukum Islam, perkawinan itu merupakan ibadah, maka perlindungan terhadap orang Islam dalam melaksanakan ibadah melalui pelaksanaan perkawinan tersebut terdapat dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Perkawinan itu berkaitan dengan tatanan masyarakat. Perkawinan itu harus seagama, sebab dengan itu maka tidak ada pemaksaan terhadap satu pada yang lainnya untuk menjalankan agama lainnya tersebut,” jelas Neng pada Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
Sistem Hukum yang Terawat
Pada kesempatan yang sama, MUI juga menghadirkan Muhammad Amin Suma sebagai ahli. Amin menjelaskan peraturan perundang-undangan tertulis yang mengatur perkawinan. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Buku I.
Menurut Amin, UU Perkawinan memiliki irisan dan urusan dengan sistem hukum yang hidup (fiqh al-hayâh; leaving law) dan terawat oleh dan di tengah-tengah masyarakat hukum Indonesia. Termasuk ke dalam sistem hukum yang hidup dan terawat dalam konteks ilmu dan praktik hukum di Indonesia ialah hukum agama di samping hukum adat.
“Eksistensi dan peran/fungsi hukum agama termasuk untuk tidak mengatakan terutama hukum Agama Islam (syariat/fikih), mendapat kedudukan/tempat serta jaminan dan perlindungan hukum yang kuat dalam tata hukum (peraturan perundang-undangan) maupun praktek ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia. Di antara contoh kasusnya dalam bidang hukum keluarga (family law; al-ahwâl al-syakhshiyyah/ahkâm al-usrah). Utamanya bidang Perkawinan (munâkahât; marriage),” jelas Amin.
Aspek-Aspek dalam UU Perkawinan
Berikutnya Amin menyebutkan aspek-aspek yang terdapat dalam hukum agama dan peraturan perundang-undangan negara tentang perkawinan. Menurut Amin, perkawinan tidak hanya berhubungan dengan aspek hukum legal formal dan normatif administratif. Sebab, perkawinan hanya merupakan satu aspek atau langkah awal dari pembentukan keluarga atau rumah tangga yang memiliki banyak aspek. Untuk itu, sambung Amin, diharapkan hal tersebut dapat bersifat ‘abadi’ sebagaimana diamanatkan hukum agama maupun peraturan perundang-undangan negara.
“Karenanya perkawinan khususnya dan keluarga pada umumnya memiliki ruang lingkup yang cukup luas dan melibatkan banyak aspek. Sekurang-kurangnya sejarah (histori), adat-kebiasaan, sosiologi, budaya, psikologi, ekonomi, politik dan lain-lain. Tentu saja terutama aspek hukum termasuk di dalamnya hukum agama dan tidak terkecuali hukum agama Islam atau fikih,” terang Amin.
Perkawinan Beda Agama Tidak Sah
Sementara itu terhadap dalil Pemohon yang menyatakan terhalang menikah karena perbedaan agama, Amin menerangkan keterkaitannya dengan ketentuan pada UU Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f yang dinilainya tidak berlawanan dengan UUD 1945. Sebab di dalamnya tidak ada pasal-pasal yang merugikan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia. Terkait dengan perkawinan beda agama yakni antara calon mempelai muslim/muslimah dengan calon mempelai non-muslim/muslimah, pada dasarnya ‘dihukumkan haram’ dan dinyatakan ‘tidak sah’ secara hukum, baik menurut semangat peraturan perundang-undangan negara maupun spirit hukum agama Islam (fikih).
“Bahkan menurut kecenderungan hukum yang hidup pada kebanyakan masyarakat muslim di Indonesia, dan berdasarkan pada bagian terbesar masyarakat beragama non Islam yang lain-lainnya sebagaimana termuat dalam Pasal 8 huruf f UU Perkawinan itu, melarang perkawinan antara orang yang berbeda agama, dalam hal ini antara warga negara yang beragama Islam dengan non-muslim,” kata Amin.
Baca juga:
Gagal Nikah karena Beda Agama, Seorang Warga Uji UU Perkawinan
Pemohon Uji Ketentuan Perkawinan Beda Agama Kurangi Objek Pengujian
Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan DPR dan Pemerintah
MUI Minta MK Tolak Perkawinan Beda Agama
Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Islam
Dewan Da’wah: Dalil Pemohon Soal Nikah Beda Agama Tidak Beralasan Hukum
Nikah Beda Agama Versi Ade Armando dan Rocky Gerung
Perkawinan Beda Agama Mudaratnya Lebih Besar
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 24/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perkawinan ini diajukan oleh E. Ramos Petege. Ramos merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.
Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menuyatakan, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang:… f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.