BOGOR, HUMAS MKRI – Bimbingan Teknis (bimtek) bagi Pengurus dan Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK) memasuki hari ketiga, Rabu (7/9/2022). Para peserta mendapatkan materi seputar teknik dan praktik penyusunan permohonan perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN).
Panitera Pengganti MK Syukri Asy'ari menjadi pemateri pada sesi ini. Di hadapan sejumlah 273 peserta bimtek, Syukri yang memberikan materi secara daring, mengajak para advokat untuk memahami terlebih dahulu seputar persoalan yang dapat dijadikan objek dalam perkara SKLN di MK.
Sebelum masuk lebih jauh ke pembahasan SKLN, Syukri mengajak para peserta terlebih dahulu memahami dasar hukum yang dijadikan pedoman hukum acara SKLN yang termuat dalam Pasal 61–Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 8/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Hal ini sangat penting untuk kemudian dapat dijadikan dasar menyusun permohonan. Selain itu, hal yang juga perlu diperhatikan oleh para advokat adalah hierarki dari lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945, yang terdiri atas pemerintah pusat dan daerah.
Pemohon dan Termohon SKLN
Syukri selanjutnya menjabarkan secara runut mengenai subjectum litis dan objectum litis yang menjadi pokok permohonan SKLN. Berbicara subjectum litis, para Pemohon harus terlebih dahulu mengerti lembaga negara yang dapat menjadi Pemohon dan Termohon dalam pengajuan perkara SKLN. Sebab, lembaga negara yang dapat diajukan haruslah memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, di antaranya MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, BPK, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Lembaga negara yang akan menjadi Pemohon dalam perkara SKLN harus terlebih dahulu mencermati kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Sementara untuk Termohon merupakan lembaga negara yang dianggap telah mengambil, megurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan Pemohon. Sedangkan terkait dengan objectum litis, Syukri menjabarkan bahwa objek yang dapat dijadikan sengketa adalah kewenangan dari lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945. Dalam permohonan ini, kewenangan lembaga negara potensial diambail, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain.
Teknik Menyusun Permohonan SKLN
Syukri juga memaparkan tentang teknik penyusunan permohonan SKLN yang diawali dengan identitas Pemohon/Termohon yang memuat nama, kuasa hukum, alamat, dan informasi sejenis. Kemudian dalam permohonan terdapat pula uraian mengenai kewenangan MK, kedudukan hukum Pemohon dan Termohon, alasan permohonan (posita), hal-hal yang dimohonkan untuk diputus (petitum).
“Pada bagian petitum dapat dipilih hal-hal yang akan disertakan dan bergantung pada posita, misalnya akan mengajukan permohonan provisi maka harus dijelaskan kenapa harus ada provisi dan ada kebutuhan mendesak apa sehingga diperlukan penghentian sementara kewenangan yang diberikan sehingga menyebabkan dampak hukum yang luas. Oleh karenanya, pada petitum dapat diberikan ketegasan atas hal yang diinginkan tersebut,” sampai Syukri dalam Bimtek yang diikuti oleh Pengurus dan Anggota Peradi yang dipimpin Otto Hasibuan.
Dua Termohon
Usai memberikan penjelasan teknik penyusunan permohonan, Syukri memberikan kesempatan pada para peserta untuk mengajukan pertanyaan atau pendapat atas materi yang telah disampaikannya. Seorang peserta Bernama Muhammad mengajukan pertanyaan, apakah boleh mengajukan permohonan SKLN dengan dua pihak Termohon. Menanggapi pertanyaan ini dan untuk memudahkan penanya dan peserta lainnya memahami konsep pihak Termohon dalam perkara SKLN, Syukri mengilustrasikan kewenangan DPD dalam keterlibatannya saat pembentukan suatu undang-undang. Misalnya dalam pembentukan UU Otonomi Daerah atau Pemekaran Wilayah, maka DPD sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945 dapat mengajukan diri sebagai Pemohon.
“Maka, pada perkara demikian ini DPR dan Pemerintah dapat dijadikan sebagai pihak Termohon yang berkaitan kewenangannya karena hal ini bisa bicara dan bergantung pada objectum litis-nya,” jelas Syukri.
Sebelum mengakhiri paparan, Syukri mengingatkan para peserta untuk memerhatikan beberapa hal sebelum menyusun permohonan SKLN. Yakni, pahami soalnya, lihat objectum litis, dan cari kewenangannya dalam UUD 1945. Setelahnya barulah dapat disusun permohonan yang memuat uraian kewenangan dan kewenangan tambahan lainnya yang diberikan dalam UU dapat pula disertakan dengan dasar hukum dan argumentasi yuridisnya.
“Saya berharap, dalam penugasan penyusunan permohonan ini meski hanya latihan, jangan sampai permohonan yang telah dibuat oleh masing-masing peserta nantinya dinyatakan Kabur atau Tidak Jelas. Hal terpenting pada bimtek ini adalah para peserta bisa membuat permohonan yang sesuai dengan PMK,” harap Syukri.
Selanjutnya para peserta bimtek dibagi ke dalam enam ruang kelas daring yang dipandu oleh Asisten Ahli Hakim Konstitusi. Para peserta diberikan soal yang menjadi materi untuk menyusun sebuah permohonan SKLN yang dikerjakan secara individu.
Untuk informasi, kegiatan bimtek ini diselenggarakan selama beberapa hari, sejak Senin–Kamis (5 – 8/9/2022). Kali ini peserta terdiri atas advokat yang tergabung dalam Pengurus dan Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang dipimpin Otto Hasibuan.
Baca juga:
Kewenangan Lembaga Negara Tidak Semuanya Atribusi dari Konstitusi
Konstitusi Butuh Penafsir Merdeka
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.