BOGOR, HUMAS MKRI – Bimbingan Teknis (bimtek) Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) bagi Pengurus dan Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) masih berlangsung pada Selasa (6/9/2022) secara daring dari Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK) Cisarua, Bogor.
Pada hari kedua ini, MK menghadirkan beberapa narasumber, yakni Hakim Konstitusi Hakim Konstitusi 2003-2008 dan 2015-2020 I Dewa Gede Palguna dengan materi “Penafsir Konstitusi”, Anggota DPR Komisi III Arteria Dahlan dengan materi “Mahkamah Konstitusi dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, dan Pan Mohamad Faiz dengan materi “Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”.
I Dewa Gede Palguna dalam paparannya mengatakan penafsiran konstitusi mencakup pengertian metode dan strategi yang tersedia bagi orang-orang yang berusaha memecahkan perselisihan perihal pengertian atau penerapan konstitusi.
“Dengan demikian, penafsiran konstitusi merupakan mekanisme untuk mengetahui atau memastikan apakah konstitusi telah benar-benar dilaksanakan dalam praktik sesuai dengan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya serta tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan oleh konstitusi itu,” kata Palguna secara daring.
Lebih lanjut Palguna mengatakan, konstitusi memiliki nature relatif statis dan tidak mudah untuk diubah. Menurutnya, konstitusi selalu membutuhkan penyempurnaan. Sehingga, Penafsiran konstitusi adalah salah satu cara menyempurnakan konstitusi (selain melalui perubahan formal dan konvensi ketatanegaraan).
MK sebagai Penafsir Konstitusi
Palguna juga menjelaskan, di negara-negara yang menganut constitutional model (supremasi konstitusi) kewenangan untuk menafsirkan konstitusi diberikan kepada pengadilan, terlepas dari soal apakah pengadilan itu bersifat tersendiri yaitu mahkamah konstitusi (atau yang disebut dengan nama lain) ataukah pengadilan “biasa” namun juga memiliki kewenangan sebagai “mahkamah konstitusi”.
Dengan kata lain, sambung Palguna, di negara-negara tersebut berlaku prinsip judicial supremacy dalam penafsiran konstitusi. Artinya, hanya penafsiran yang dilakukan oleh pengadilan yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan sifatnya final. Pengadilan memiliki kedudukan supreme dalam penafsiran konstitusi sehingga hanya penafsiran pengadilanlah yang secara hukum mengikat dalam penafsiran konstitusi.
“Judicial supremacy merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa pengadilan adalah penafsir konstitusi yang sah atau pengadilan sebagai pemegang kata akhir ketika berbicara perihal penafsiran konstitusi atau penafsir terakhir dalam masalah-masalah penafsiran konstitusi. Intinya, pengadilan memiliki kedudukan supreme dalam penafsiran konstitusi sehingga hanya penafsiran pengadilanlah yang secara hukum mengikat dalam penafsiran konstitusi,” terangnya.
Palguna juga menegaskan, konstitusi membutuhkan penafsir yang merdeka, tidak tunduk pada tekanan publik maupun instabilitas elektoral. Jika pengadilan tidak diberi kewenangan demikian, tertib konstitusi terancam pecah ke dalam pertengkaran politik. Dengan demikian, MK sebagai penafsir konstitusi mengandung pengertian hanya penafsiran konstitusi yang diberikan oleh MK (melalui putusan-putusan dalam pelaksanaan kewenangannya, khususnya kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang) yang secara hukum mengikat.
Hukum Acara SKLN
Sementara Asisten Ahli Hakim Konstitusi Pan Mohamad Faiz menjelaskan tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Sengketa dalam hal ini perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara.
“Jadi ada selisihnya, ada perbedaan yang kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan dari dua atau lebih lembaga,” ujar Faiz.
Berikutnya, terang Faiz, kewenangan konstitusional lembaga negara didefinisikan menjadi kewenangan yang dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945. “Ini menjadi catatan penting ternyata wewenang hak dan kewajiban ini diberikan oleh UUD 1945 dan kemudian dikuatkan pengertian lingkup ini di dalam definisi lembaga negara yaitu hanya lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945. Jadi semua lembaga negara yang ada di Republik ini bisa menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Otomatis tadi digambarkan dalam struktur ketatanegaraan kita bisa menjadi pihak di dalam SKLN. Sementara lembaga-lembaga lain belum tentu bisa menjadi dalam pihak SKLN,” terang Faiz.
Lebih lanjut Faiz menjelaskan, Pemohon dalam SKLN adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Sedangkan, Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.
Terkait permohonan, Faiz pun menyebut, permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia dan harus memuat Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama ketua lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara; uraian yang jelas tentang kewenangan yang dipersengketakan, kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut dan hal-hal yang diminta untuk diputuskan. Permohonan dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau Pimpinan lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya. Selain dibuat dalam bentuk tertulis, permohonan dapat pula dibuat dalam format digital yang tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk), atau yang sejenisnya.
“Permohonan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara diajukan tanpa dibebani biaya perkara,” tegas Faiz.
Baca juga:
Kewenangan Lembaga Negara Tidak Semuanya Atribusi dari Konstitusi
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.