JAKARTA, HUMAS MKRI – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong optimalisasi pelaksanaan transfer dana oleh BPR dan BPRS melalui pemanfaatan sarana teknologi informasi dan kolaborasi dengan lembaga atau institusi lain. Hal tersebut berdasarkan Pilar II Roadmap BPR dan BPRS, yaitu Akselarasi Transformasi Digital.
Demikian disampaikan oleh Rizal Ramadhani selaku Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia dalam sidang pengujian UU Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (5/9/2022). Perkara Nomor 32/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan).
“Perlu dilakukan optimalisasi layanan untuk nasabah BPR dan BPRS khususnya transfer dana melalui pemanfaatan infrastruktur teknologi informasi. Transfer dana merupakan kegiatan dasar bank yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat. BPR dan BPRS yang memenuhi persyaratan diperkenankan untuk memiliki layanan perbankan elektronik, seperti mobile banking dan internet banking, maupun penyelenggaraan akses ke sumber dana untuk pembayaran berupa penerbitan instrumen pembayaran seperti penerbit kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan kartu debit, sesuai dengan POJK Produk BPR-BPRS,” urai Rizal di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: BPR Syariah Minta Perlakuan Sama dalam Pelayanan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
Selain dengan bank umum, Rizal pun melanjutkan, BPR dan BPRS dapat pula bekerja sama dengan lembaga atau instansi lain untuk mendukung pelaksanaan transfer dana tersebut, misalnya dengan penyelenggara payment gateway, penyelenggara transfer dana, penerbit uang dan/atau dompet elektronik, atau Penyedia Jasa Teknologi Informasi (PJTI). Untuk mengoptimalisasi kegiatan transfer dana, BPRS tetap perlu memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan serta memastikan adanya langkah mitigasi risiko yang mungkin timbul terkait pelaksanaan kerja sama maupun risiko terkait sistem teknologi informasi yang digunakan.
“Sejalan dengan Roadmap BPR dan BPRS, industri BPRS tetap akan didorong untuk tumbuh secara dinamis dengan memperhatikan perkembangan bisnis dan teknologi informasi serta kebutuhan masyarakat terutama pelaku UMK. OJK terus melakukan upaya penyempurnaan kebijakan dan pengaturan termasuk melalui berkoordinasi dengan otoritas lain dalam rangka mendorong perkembangan industri BPRS,” tegas Rizal.
Dengan demikian, sambung Rizal, dalil Pemohon mengenai keikutsertaan dalam lalu lintas sistem pembayaran sebenarnya telah dapat dilakukan melalui esehatan dengan bank umum atau lembaga jasa keuangan lainnya. Dalam hal Pemohon ingin memiliki kemampuan menyelenggarakan kegiatan usaha lalu lintas pembayaran secara langsung, maka sebagai BPRS dapat meningkatkan kelembagaannya menjadi BUS sehingga tingkat esehatan bank tetap terjaga, risiko liquidity mismatch dan risiko lain dapat dimitigasi, serta mampu memiliki teknologi informasi yang handal yang jika digunakan akan tetap dapat menjaga kepercayaan masyarakat, sebagaimana telah kami uraikan di atas.
Baca juga: DPR Sampaikan Perbedaan Kewenangan BPRS dengan Bank Umum
BPRS ke BPRS Lainnya
Rizal juga menjelaskan, pencabutan izin usaha suatu bank syariah dilaksanakan oleh OJK dalam hal terdapat permintaan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tahap tersebut dilakukan, setelah sebelumnya OJK menyerahkan bank syariah yang dinyatakan tidak dapat disehatkan, kepada LPS. Pencabutan izin usaha oleh OJK dapat pula didasarkan atas permintaan bank syariah itu sendiri setelah bank syariah menyelesaikan seluruh kewajibannya.
Sebelum OJK menyatakan suatu bank syariah tidak dapat disehatkan, bank syariah itu sendiri sudah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha yang sudah tidak dapat diatasi oleh beberapa tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka memperbaiki kesulitan dimaksud.
“Apabila Pemohon mendalilkan bahwa larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 huruf e UU Perbankan Syariah mengakibatkan BPRS memiliki daya hidup berkelanjutan yang tidak sempurna, maka perlu dilihat lagi apa sebenarnya yang sering menjadi alasan OJK menyatakan BPRS sebagai bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya,” terang Rizal.
Baca juga: Faisal Basri: BPRS Bisa Berperan dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Rizal menerangkan, pencabutan izin usaha BPRS tidak semata-mata dikarenakan permasalahan permodalan, akan tetapi bisa saja BPRS yang dicabut izin usahanya oleh OJK karena terjadi pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Hal ini sejalan dengan data yang kami miliki, dimana dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2021, terdapat 8 (delapan) BPRS dicabut izin usahanya dan semuanya dicabut karena alasan pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta terdapat fraud yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPRS. Tidak satupun dari BPRS tersebut yang dicabut izin usahanya akibat kegagalan bertahan dalam kompetisi usaha yang sehat.
“Norma Pasal 25 huruf e UU Perbankan Syariah adalah upaya dalam rangka melindungi keberlanjutan BPRS dan perlindungan nasabah serta pihak-pihak lain yang memiliki hubungan hukum dengan BPRS dimaksud. Dengan demikian, telah salah sudut pandang Pemohon dalam hal menyikapi norma larangan pada Pasal 25 huruf e UU Perbankan Syariah karena larangan dimaksud bukan usaha negara untuk menghalang-halangi BPRS untuk mendapatkan sumber modal dari BPRS lainnya, melainkan upaya negara dalam melindungi BPRS itu sendiri, dan masyarakat luas secara keseluruhan. Terlebih lagi, memang permasalahan yang menyebabkan sampai dicabutnya izin usaha BPRS bukan semata-mata karena permodalan, akan tetapi lebih kepada permasalahan miss management sampai dengan adanya fraud (tindak pidana),”terangnya.
Oleh karena itu, apabila BPRS diperbolehkan melakukan penyertaan, BPRS juga harus siap dengan tantangan penambahan modal yang diwajibkan dan berlaku secara umum (tidak hanya berlaku pada BPRS yang melakukan penyertaan modal). Saat ini, yang perlu dipertimbangkan, apakah BPRS siap menambah modal dalam hal akan melakukan penyertaan modal kepada BPRS lain, mengingat sampai saat ini berdasarkan data yang kami miliki hanya terdapat 69% BPRS yang memenuhi syarat permodalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mana dalam peraturan yang ada saat ini, penyertaan modal belum diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal.
Baca juga: Pelarangan BPRS dalam Lalu Lintas Pembayaran Pengaruhi Pelayanan kepada Nasabah
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS.
Menurut pemohon pembatasan dan larangan untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPR Syariah tidak optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat terutama usaha mikro kecil untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Lebih lanjut Kamal mengatakan, Bank Indonesia menetapkan kebijakan National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi. Dengan adanya norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah, BPR Syariah tidak dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal-pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana