JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) pada Senin (5/9/2022). Perkara Nomor 77/PUU-XX/2022 tersebut diajukan oleh Ahmad Amin yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam perkara ini, Pemohon mendalilkan Pasal 16 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh ini, Ahmad menyebutkan beberapa perbaikan permohonannya. Yakni, kedudukan hukum, alasan-alasan mengajukan permohonan, dan kewenangan DPD dalam pengusulan rancangan undang-undang terkait pendidikan. Maka, pada permohonan ini Pemohon mempertanyakan kewenangan legislasi terkait dalam pengusulan undang-undang. “Petitumnya, memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ahmad dalam sidang yang dihadirinya secara daring.
Baca juga: Persoalkan Aturan Kenaikan Gaji Pokok dan Tunjangan, PNS Uji UU Guru dan Dosen
Sebagai informasi, Pemohon menyebutkan pasal-pasal a quo dinilai telah menduplikasi besaran gaji pokok PNS yang merupakan hak Pemohon menjadi besaran tunjangan profesi sebesar setara satu kali gaji pokok; tunjangan khusus sebesar setara satu kali gaji pokok; dan tunjangan kehormatan guru besar/profesor sebesar setara dua kali gaji pokok. Oleh karena itu, Pemohon berpendapat norma tersebut mengintervensi dan mendikte kewenangan Pemerintah/Presiden dalam merencanakan dan melaksanakan keuangan negara dalam APBN yang terbatas dan manajemen kepegawaian. Intervensi ini, sambungnya, telah menimbulkan keterjajahan kedaulatan Presiden untuk pengelolaan keuangan negara sehingga Pemerintah enggan menaikkan besaran gaji pokok dan membuat kebijakan gaji ke-14.
Keengganan Pemerintah demikian merugikan hak Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena gaji pokok Pemohon yang kecil tersebut berakibat pada tabungan hari tua yang rendah karena iuran rendah sebesar 3,25% dari besaran gaji pokok yang rendah, uang pensiun akan rendah karena iuran sebesar 4,75% gaji pokok yang rendah; tingkat kesejahteraan menurun karena gaji pokok yang ditetapkan tidak dapat mengimbangi tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi negara/nasional; ketidakpastian kedaulatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif yang menyusun rencana belanja keuangan negara, tetapi faktanya diperintah oleh legislatif dalam perencanaan belanja keuangan negara melalui norma UU Guru dan Dosen. Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 16 ayat (2) Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), Pasal 56 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang menginisiatif menetapkan kegiatan belanja keuangan negara dan memerintahkannya kepada Presiden untuk dilaksanakan adalah Inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana