JAKARTA, HUMAS MKRI - Terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) telah menyatakan bahwa UU 16 Tahun 1985 dan PP 4 Tahun 1988 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan sendirinya telah menghilangkan Satuan Rumah Susun dengan Fungsi Bukan Hunian Secara Mandiri.
Demikian disampaikan oleh Pangihutan Marpaung yang merupakan Asisten KASN Pengawasan Bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik dan Kode Perilaku ASN, dan Netralitas ASN dalam sidang lanjutan pengujian Materiil kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (1/9/2022) dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemerintah.
“Dalam penjelasannya disebutkan ‘Yang dimaksud dengan ‘fungsi campuran’ adalah campuran antara fungsi hunian dan bukan hunian’. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 50 ini, fungsi satuan rumah susun dengan bukan hunian hanya dimungkinkan berada pada satu bangunan dengan fungsi hunian atau berada pada bangunan berbeda, namun bangunan dengan fungsi hunian dan bangunan dengan fungsi Bukan Hunian berada pada satu tanah bersama,” ujar Marpaung.
Menurut Marpaung, dengan telah terbitnya SHMSRS oleh Pemohon I pada Alana Sentul City, Pemohon II dan Pemohon III pada Sahid Eminence Ciloto Puncak menyatakan bahwa satuan rumah susun berupa Kondotel merupakan fungsi hunian. “Sebab jika dinyatakan SHMSRS tersebut dinyatakan sebagai fungsi bukan hunian, jelas telah melanggar uu 20/2011 dan PP 13/2011 serta dapat dibatalkan, dengan konsekwensi Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III tidak lagi memiliki bukti kepemilikan satuan rumah susun,” urai Marpaung.
Baca juga: Pemilik Kondotel Uji Ketiadaan Frasa “Bukan Hunian” dalam UU Rusun
Tidak Ada Kerugian Hak Konstitusional
Lebih lanjut Marpaung menjelaskan, Pasal 50 UU Rusun mengatur substansi fungsi rusun sebagai hunian atau campuran dan sama sekali tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional bagi Para Pemohon. Hal ini karena ketentuan tersebut menyatakan bahwa rusun sebagai hunian atau campuran, bukanlah ketentuan untuk mengatur pengelolaan satuan rumah susun (terkait perlindungan harta benda di bawah kekuasaannya sebagaimana Pasal 28G ayat (1) UUD 1945), maupun substansi mengenai kepemilikan (terkait dengan dalil kehilangan hak milik dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945). Ia menegaskan, sesungguhnya Para Pemohon tidak memiliki hak konstitusional yang dirugikan dari keberlakuan ketentuan Pasal 50 UU Rumah Susun. Hal tersebut dikarenakan Para Pemohon tidak dapat menganggap “bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama” rumah susun menjadi harta benda di bawah kekuasaannya secara individual/pribadi sebagaimana konteks pengaturan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
“Selanjutnya penguasaan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama direpresentasikan berdasarkan Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) yang dimiliki masing-masing pemilik sebagaimana tercantum didalam SHMSRS,” ujar Marpaung.
Baca juga: Pemilik Kondotel Perbaiki Permohonan Uji Materiil UU Rusun
Pengelolaan Sarusun
Selanjutnya, sambung Marpaung, para Pemohon mencampuradukkan antara kepemilikan satuan rumah susun dengan bukti telah terbitnya Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun para Pemohon dengan keinginan Para Pemohon untuk juga mengelola rumah susun yang difungsikan sebagai kondotel. Hal ini seolah menunjukkan Pemohon mampu mengelolanya dan pasti memperoleh izin pengelolaan dari Dinas Pariwisata atau Dinas terkait lainnya.
“Para Pemohon hanya berhak membentuk PPPSRS untuk mengelola rumah susun yang difungsikan sebagai hunian seluruhnya atau difungsikan sebagian sebagai hunian, bukan sebagai hotel, karena pengelolaan hotel perlu dilakukan secara profesional oleh pengelola yang telah memperoleh izin mengelola dari Dinas Pariwisata Pemerintah Daerah setempat. Sejatinya, PPPSRS menurut ketentuan undang-undang RUSUN didirikan dengan tujuan untuk mengelola rumah susun yang berfungsi sebagai hunian atau campuran (antara hunian dan bukan hunian), dan yang terpenting lagi, dimana eksistensi PPPSRS lebih menekankan pada pengelolaan berdasarkan kepemilikan dan atau kepenghunian, sehingga pengurus PPPSRS wajib bertempat tinggal di sarusun miliknya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Rumah Susun, Pasal 94 ayat (2),” urai Marpaung.
Baca juga: Pemerintah: Pengurus PPPSRS Harus Tinggal dalam Bangunan Rusun
Kepemilikan Sarusun
Lebih lanjut Marpaung menerangkan, para Pemohon tidak memahami atau pura-pura tidak memahami bahwa Kondotel—selain merupakan sarana hunian juga merupakan sarana investasi yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang membeli satuan rumah susun atau kondominium dengan fungsi hunian untuk tujuan disewakan berdasarkan perjanjian selama jangka waktu tertentu sebagai hotel kepada pengelola profesional, sehingga menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. Di lain pihak, pemilik atau investor tadi berhak untuk menghuni satuan rumah susunnya selama beberapa hari dalam satu tahun secara gratis dan memperoleh pelayanan hotel berdasarkan perjanjian dengan pengelola. Nantinya akan ada pembagian keuntungan selama jangka waktu penghunian oleh pemiliknya sendiri serta pelayanan hotel yang diterima selama menghuni satuan rumah susunnya yang dituangkan dalam perjanjian tertulis dengan pengelola hotel. Artinya secara sadar, lanjut Marpaung, sejak awal para Pemohon telah mengetahui, memahami dan mengerti adanya perjanjian pengelolaan atas unit-unit yang diserahkan ke pihak ketiga /managemen hotel.
“Maka demi hukum Para Pemohon terikat untuk tunduk dan taat terhadap perjanjian tersebut. Pemerintah secara teknis tidak memiliki kapasitas campur tangan terhadap perjanjian keperdataan terkait Kondotel, selain atas putusan pengadilan. Dengan jumlah Pemohon uji materil yang hanya 1 (satu) orang pada rumah susun Alana Sentul City, 2 (dua) orang pada rumah susun Sahid Eminence Ciloto Puncak dan 1 (satu) orang pada rumah susun The H Tower tidak cukup untuk menyatakan dirinya mewakili seluruh pemilik satuan rumah susun dan tidak cukup pula untuk membentuk pengurus PPPSRS pada ketiga bangunan rumah susun yang difungsikan sebagai Kondotel tersebut. Para Pemohon sesungguhnya tidak pernah kehilangan hak keperdataan atau hak apapun terkait satuan rumah susun yang telah dibeli, karena dalam konsep pengelolaan KONDOTEL, jelas tampak, bahwa yang beralih demi hukum bukan kepemilikan atas bendanya, melainkan hak perorangannya yang sementara timbul/ dialihkan sebagai akibat adanya perjanjian pengelolaan, in casu Kondotel. Jadi, haruslah dipisahkan antara hak kebendaan dalam bentuk milik dengan beralihnya hak menguasai sementara karena adanya perjanjian pengelolaan,” tegas Marpaung.
Sehingga dalil Para Pemohon sepanjang mengklaim kerugian hak dikarenakan hilangnya hak milik, dan hak menguasai atas objek satuan rumah susun, jelas-jelas merupakan argumentasi yang tidak beralasan.
Tidak Ada Hubungan Sebab Akibat
Marpaung juga menegaskan, kerugian konstitusional pemohon tidak terdapat hubungan sebab akibat dengan ketentuan Pasal 50 UU Rumah Susun karena setiap pemilik satuan rumah susun baik rumah susun dengan fungsi hunian maupun rumah susun dengan fungsi campuran berhak dan sudah seharusnya memperoleh bukti kepemilikan dalam bentuk Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun sebagaimana sudah dimiliki oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III.
Dikatakan Marpaung, setiap pemilik satuan rumah susun, yang karena sifat hak kebendaannya, berhak mengalihkan, menjual, menyewakan, meminjamkan dan atau memindah tangankan kepemilikannya, termasuk mengadakan perjanjian pengelolaan terkait fungsinya sebagai hotel kepada pengusaha Kondotel. Pengusahaan Kondotel muncul sebagai akibat kesepakatan bersama antara pemilik satuan rumah susun atau investor, pengembang atau pelaku pembangunan dengan managemen hotel (pihak ketiga). Dengan kata lain, munculnya hunian dalam bentuk pengusahaan Kondotel tidak serta merta terjadi karena ketiadaan frasa “bukan hunian” yang termaksud Pasal 50 UU Rusun, melainkan pengambilalihan pengelolaan sudah tentu dan pasti atas dasar perjanjian tertulis antara setiap pemilik satuan rumah susun dengan manajemen hotel tadi. Dengan demikian, kerugian yang diklaim Para Pemohon tidak memiliki sebab akibat dengan permasalahan pengujian pasal 50 UU Rumah Susun.
“Terjadinya pengambilalihan pengelolaan sarusun untuk tujuan Kondotel untuk jangka waktu tertentu, jelas berkaitan pada saat pemesanan atau PPJB yang sejak awal digagas antara pengembang dengan calon pembeli atau pemilik satuan rumah susun dengan Manajemen Hotel,” tandas Marpaung.
Sebelumnya, Perkara Nomor 62/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh para pemilik kondominium dan hotel (kondotel), yakni Rini Wulandari sebagai Pemohon I, Hesti Br Ginting sebagai Pemohon II, Ir Budiman Widyatmoko sebagai Pemohon III dan Kristyawan Dwibhakti sebagai Pemohon IV. Para Pemohon mendalilkan Pasal 50 UU Rusun yang berbunyi, “Pemanfaatan rumah susun dilaksanakan sesuai dengan fungsi; a. Hunian; atau b. campuran” bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon merupakan para pemilik satuan unit rumah susun yang berbentuk satuan unit kondotel. Dengan adanya UU Rusun, kondotel tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, sehingga para Pemohon tidak dapat membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan, kepemilikan dan penghunian. Hal tersebut berakibat ¨kebendaan yang di bawah kekuasaannya (satuan rumah susun yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama) tidak di bawah penguasaan para Pemohon, melainkan berada di bawah penguasaan developer. Selain itu, Pemohon mendalilkan kondotel yang tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, berakibat pada satuan unit kondotel yang dimiliki para Pemohon tidak dapat diterbitkan bukti kepemilikan Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun). Sehingga, berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 50 UU Rusun bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk “Bukan Hunian”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.