JAKARTA, HUMAS MKRI – Penempatan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai penyelenggara jaminan produk halal di bawah urusan Kementerian Agama sebagai bagian unsur pendukung bukanlah merupakan masalah konstitusionalitas norma. Demikian pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Wahiduddin Adams dalam Putusan Nomor 67/PUU-XX/2022. Putusan mengenai uji materiil Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dibacakan dalam sidang yang digelar pada Rabu (31/8/2022).
Mahkamah menilai jaminan mengenai produk halal tidak dapat dilihat dari sisi teknis adanya pembidangan kerja dalam BPJPH dalam rangka proses memperoleh sertifikasi halal. Sebab, untuk memperoleh produk halal yang bersertifikasi tidak dapat dilepaskan dari bekerjanya Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Pusat Kerja Sama dan Standardisasi Halal, dan Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal.
“Bahwa dikarenakan penentuan produk halal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari syariat Islam sebagaimana pertimbangan hukum di atas, dengan demikian, maka tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dengan adanya penempatan BPJPH sebagai penyelenggara jaminan produk halal di bawah urusan Kementerian Agama sebagai bagian unsur pendukung,” urai Wahiduddin dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: Menguji Konstitusionalitas Sertifikat Produk Halal
Bukan Masalah Agama
Wahiduddin juga menyampaikan pendapat Mahkamah mengenai dalil para Pemohon yang mengatakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan BPJPH bukanlah masalah agama yang menjadi tugas pokok, fungsi kewenangan Menteri Agama, khususnya terkait dengan tugas, fungsi dan kewenangan BPJPH mengenai standardisasi, akreditasi dan sertifikasi produk halal. Menurut Mahkamah, lanjut Wahiduddin, telah jelas bahwa yang memiliki fungsi pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal adalah Kementerian Agama yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada sebuah badan yang merupakan unsur pendukung dari organisasi Kementerian agama yaitu BPJPH. Sementara itu, standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi produk halal merupakan bagian kewenangan BPJPH dalam rangka proses pemberian jaminan produk halal.
“Oleh karenanya, jika ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 dihilangkan karena dinyatakan inkonstitusional sebagaimana dalil para Pemohon, justru hal tersebut akan menyebabkan tidak terlindunginya hak-hak yang terdapat dalam ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 inkonstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum,” urai Wahiduddin.
Baca juga: Pemohon Uji UU JPH Perbaiki Petitum
Desain Hubungan Kelembagaan
Pemohon juga mendalilkan bahwa pihak yang berwenang menetapkan norma, standar, dan kriteria kehalalan produk sebagai wilayah substantif keagamaan adalah kewenangan Lembaga Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan untuk urusan standardisasi adalah kewenangan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan urusan Sertifikasi adalah kewenangan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Sehingga menurut para Pemohon karena hal di atas bukan merupakan kewenangan BPJPH, maka BPJPH telah melakukan tindakan di luar kewenangannya dan monopolitif. Terkait dalil tersebut, Wahiduddin menyampaikan bahwa UU JPH telah mendesain hubungan kelembagaan BPJPH dalam pelaksanaan wewenangnya. BPJPH tidak berdiri sendiri, tetapi bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU JPH, kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga lain dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait. Berkaitan dengan proses atau tata cara dimaksud, tidak terbukti adanya sifat monopoli kewenangan BPJPH dalam menerbitkan sertifikasi halal produk. Bahkan, sambung Wahiduddin, untuk menjaga agar jaminan produk halal tersebut tidak disalahgunakan, para Pemohon sebagai bagian dari kelompok masyarakat semestinya dapat turut berperan serta mengawasi penyelenggaraan jaminan produk halal.
“Termasuk mengawasi produk dan produk halal yang berbeda, dengan misalnya melakukan sosialisasi melalui kegiatan lembaga atau organisasinya masing-masing sebagaimana hal tersebut ditentukan pula dalam UU 33/2014. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 6 UU 33/2014 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” jelas Wahiduddin.
Selain itu, Wahiduddin menegaskan pengujian norma Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU JPH telah sesuai dengan prinsip checks and balances dan good governance serta tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 28E ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
“Oleh karenanya, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan, terkait dengan pengujian Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014, telah ternyata dalil permohonan para Pemohon adalah prematur,” tegas Wahiduddin.
Untuk itu, dalam Amar Putusannya, Mahkamah memutuskan permohonan Pemohon II, Pemohon VI sampai dengan Pemohon VIII dan Pemohon XVIII sampai dengan Pemohon XX tidak dapat diterima. Kemudian, Mahkamah juga menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon III sampai dengan Pemohon V, Pemohon IX sampai dengan Pemohon XVII dan Pemohon XXI sampai dengan Pemohon XXIII sepanjang berkenaan dengan Pasal 48 angka 10 UU Cipta Kerja yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU JPH, Pasal 48 angka 15 UU Cipta Kerja yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 JPH, Pasal 48 angka 19 UU Cipta Kerja yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 JPH, dan Pasal 48 angka 21 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 JPH tidak dapat diterima. “Menolak permohonan para Pemohon selain dan selebihnya,” tandas Anwar Usman.
Sebagai informasi, Permohonan Nomor 67/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) diajukan oleh Ainur Rofiq, Achmad Mutohar, dan Muhamad Yusuf (Pemohon I); Mohamad Dahlan Moga, Oheo Kaimuddin Haris, Safril Sofwan Sanib (Pemohon II); Khoirul Umam dan Laily Irmayanti (Pemohon III) serta 20 Pemohon lainnya. Para Pemohon mendalilkan bahwa Berlakunya UU JPH juncto UU Cipta Kerja menimbulkan potensi produk halal yang beredar di masyarakat diragukan kehalalannya, karena sertifikat halalnya diterbitkan oleh lembaga yang secara hukum tidak berwenang untuk menerbitkan sertifikat halal, menetapkan kehalalan produk dan tidak pernah memeriksa dan menguji kehalalan produk dimaksud serta tanpa fatwa halal dari lembaga yang mempunyai kompetensi menyatakan kehalalan secara syar’i yakni Majelis Ulama Indonesia. Masih menurut para Pemohon, diberlakukannya UU JPH juncto UU Cipta Kerja akan menimbulkan potensi terjadinya intervensi politik karena Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) tidak profesional dan tidak independen karena BPJPH secara struktural di bawah Kementerian Agama dan jabatan Menteri Agama adalah jabatan politik. Hal ini berakibat produk Indonesia akan tertolak di luar negeri. Selain itu, dapat mengganggu kelangsungan kehidupan masyarakat yang selama ini telah hidup dengan baik dan tentram terutama pelaku usaha mikro, kecil dan menengah akan terancam gulung tikar karena banjirnya produk dari produsen besar dan juga produk-produk dari luar negeri. Menurut para Pemohon, keberadaan UU JPH juncto UU Cipta Kerja lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Oleh karena itu, para Pemohon meminta kepada MK agar mencabut dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pasal-pasal yang diujikan, yaitu Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 UU JPH, Pasal 29 ayat (1) UU JPH Jo Pasal 29 ayat (1) UU Cipta Kerja, Pasal 35 UU JPH, Pasal 42 ayat (1) UU JPH Jo Pasal 42 ayat (1) UU Cipta Kerja, serta Pasal 48 UU JPH Jo Pasal 48 UU Cipta Kerja.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Muhammad Halim