JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) yang diajukan Tommy Chandra Kurniawan dan tiga Pemohon lainnya akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 38/PUU-XX/2022 pada Rabu (31/8/2022).
Sebagaimana diketahui, para Pemohon memohonkan agar pengaturan mengenai konsekuensi pengajuan kasasi atas putusan PKPU dipersamakan pengaturannya (dalam arti mutatis mutandis) dengan pengaturan konsekuensi kasasi atas putusan pailit. Terhadap hal demikian, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah berpendapat bahwa dari sisi pembentukan undang-undang, pengaturan mekanisme terkait PKPU dapat dilakukan/dirumuskan oleh pembentuk undang-undang di dalam undang-undang itu sendiri terutama jika dilakukan perubahan terhadap UU a quo. Atau pembentuk undang-undang dapat mendelegasikan/menyerahkan kewenangan pengaturan tersebut kepada Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung untuk mengatur hal-hal tertentu demi kelancaran peradilan dapat dilandaskan pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA).
Suhartoyo melanjutkan berkaitan dengan dalil para Pemohon tersebut, dalam perkara ini, Mahkamah masih berpegang pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 yang berpendapat bahwa pengaturan demikian lebih tepat dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan yang memiliki kewenangan mengadili permohonan PKPU di tingkat pertama maupun di tingkat kasasi, dengan memperhatikan kewenangan kementerian terkait yang diserahi kewenangan oleh UU No. 37/2004 untuk menyusun/membuat pedoman imbalan jasa bagi pengurus (vide Pasal 234 ayat (5) UU No. 37/2004).
“Namun demikian, pengaturan dimaksud harus tetap memperhatikan dan/atau melindungi hak-hak yang melekat pada Pengurus PKPU yang ditunjuk oleh pengadilan untuk mengurus harta debitor yang terkena penundaan kewajiban pembayaran utang,” ujar Suhartoyo.
Baca juga: Menyoal Biaya Pengurusan dan Imbalan Jasa Pengurus dalam Kepailitan dan PKPU
Kemudian, sambung Suhartoyo, dengan adanya penyerahan atau pendelegasian pengaturan lebih lanjut kepada Mahkamah Agung dengan memperhatikan kewenangan kementerian terkait. Menurut Mahkamah secara normatif telah meniadakan potensi kerugian konstitusional akibat belum diaturnya konsekuensi upaya hukum kasasi bagi Pengurus PKPU, terutama para Pemohon.
“Seandainya pun belum ada peraturan atau regulasi yang disusun oleh Mahkamah Agung terkait konsekuensi upaya hukum kasasi atas putusan PKPU, hal demikian menurut Mahkamah, tidak serta merta mengakibatkan norma yang dimohonkan pengujian menjadi bertentangan dengan Konstitusi. Terlebih, Mahkamah Agung dengan kewenangannya sebagai peradilan yang mengadili perkara kasasi sekaligus pengawas badan peradilan di bawahnya dapat mewujudkan suatu perlindungan hukum kepada Pengurus PKPU melalui putusan kasasi tanpa harus menunggu terbitnya peraturan atau regulasi dimaksud,” urai Suhartoyo.
Baca juga: Para Kurator Perbaiki Uji UU Kepailitan dan PKU
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Suhartoyo menambahkan Mahkamah berpendapat telah ternyata hal-hal yang didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo, telah terserap (terabsorpsi) dalam amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021. Terlebih, setelah dicermati oleh Mahkamah terdapat banyak hal dalam permohonan ini yang sebenarnya secara substansial telah dipertimbangkan dalam putusan terdahulu, sehingga untuk memahami secara komprehensif pertimbangan hukum putusan ini harus dirujuk/dibaca pula pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, ketentuan norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU No. 37/2004 yang telah diberi makna baru oleh Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum serta tidak pula menimbulkan kerugian terkait pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum bagi para Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah kedua norma yang dimohonkan pengujian sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, Mahkamah berkesimpulan permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” tegas Suhartoyo.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim