JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) yang diajukan oleh E. Ramos Petege dan Yanuarius Mote.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan pengujian sepanjang berkenaan dengan norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua tidak dapat diterima. Menolak permohonan para Pemohon selain dan selebihnya,” ungkap Ketua Pleno Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 43/PUU-XX/2022 pada Rabu (31/8/2022).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, setelah Mahkamah mencermati kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua, ternyata substansi dari permohonan para Pemohon tersebut juga berkenaan dengan kepentingan pemerintah daerah. Oleh karena itu, lanjutnya, pengajuan permohonan pengujian terhadap pasal-pasal a quo tidak dapat hanya diajukan oleh para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia. Terlebih, para Pemohon tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional tersebut baik yang bersifat aktual, spesifik atau setidak-tidaknya potensial serta adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan berlakunya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian.
Manahan melanjutkan, terkait permohonan pengujian norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua adalah tidak memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan kedudukan hukum. Sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian pasal-pasal a quo. Bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua, quod non, dalil permohonan para Pemohon mengenai pasal-pasal a quo tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada bagian pertimbangan hukum pokok permohonan.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua, ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminasi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum pula untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua,” tandas Manahan.
Baca juga: Uji UU Otsus Papua: Perlakuan Diskriminatif dalam Pemilu
Sementara terkait dengan pengujian norma Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021, Mahkamah telah memutus terkait hal tersebut dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021. Begitupula dengan pengujian norma Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2) UU Otsus Papua, khususnya terkait dengan pengujian norma Pasal 68A ayat (2) UU Otsus Papua.
“Oleh karena pengujian terhadap norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 berkaitan erat dengan norma Pasal 68A ayat (1) yang mengatur mengenai pembentukan badan khusus maka menurut Mahkamah pertimbangan hukum terhadap pengujian norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 juga sekaligus memuat pertimbangan hukum terhadap ketentuan norma Pasal 68A ayat (1) UU 2/2021,” ucap Manahan.
Baca juga: UU Otsus Papua Menutup Ruang OAP Memperoleh Pekerjaan
Pendapat Berbeda
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan pendapat berbeda. Ia menguraikan kedudukan hukum dalam pengujian norma a quo, para Pemohon mengemukakan kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik atau khusus dan aktual disebabkan berlakunya ketentuan Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua, telah membuka celah dalam sistem desentralisasi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 menjadi sistem sentralistik secara terpusat.
Sebagaimana diuraikan para Pemohon, pengambilan kewenangan untuk membentuk Perdasi dan Perdasus tanpa melibatkan atau setidak-tidaknya memperoleh pertimbangan atau persetujuan dari MRP dan DPRP atau DPRK merupakan suatu bentuk pembajakan atas otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua. Bagi para Pemohon, hal demikian telah menyebabkan kehilangan hak konstitusionalnya untuk menyalurkan aspirasi apabila terjadi pemekaran daerah di wilayah Provinsi Papua.
Dalam menilai kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan a quo, in casu norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua, menurut Saldi, harus diteropong berdasarkan Pasal 51 UU MK. Dalam hal ini, Pasal 51 UU MK yang mensyaratkan, yaitu: (1) adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan UUD 1945; (2) hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; (3) kerugian konstitusional Pemohon bersifat spesifik, aktual, atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dengan berlakunya undang-undang yang diajukan untuk diuji; dan (5) adanya kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
Setelah mempelajari dan mengkaji uraian berkenaan dengan kerugian konstitusional para Pemohon, baik yang diuraikan kerugian secara faktual maupun kerugian secara potensial, para Pemohon telah menguraikan secara spesifik sehingga menggambarkan adanya hubungan kausalitas berlakunya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus Papua. Dalam batas penalaran yang wajar, semua norma yang diajukan pengujian tersebut sangat terkait dan berkelindan dengan masalah kultural OAP. Pendapat hukum demikian tidak dapat dilepaskan dari politik hukum yang melatarbelakangi pembentukan UU Otsus Papua. Dalam hal ini, konsiderans “Menimbang” huruf a UU Otsus Papua secara eksplisit dimaksudkan dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar OAP, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya. Karena itu, tersebab semua norma yang diajukan permohonan berkelindan dengan kepentingan kultural OAP, seharusnya Mahmakah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon untuk semua norma dimaksud.
Sebelumnya, para Pemohon beralasan mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar disebabkan ketentuan Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah mengeliminasi prinsip otonomi daerah, desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai atribusi konstitusi kepada pemerintah daerah sebagai ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar juga disebabkan ketentuan Pasal Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 2/2021 tentang Otsus Papua telah membuka celah dalam sistem desentralisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU NRI Tahun 1945 menjadi sistem sentralistik secara terpusat oleh pemerintahan pusat. Untuk itu, para Pemohon meminta pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.