LOMBOK, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi pembicara kunci dalam kegiatan International Conference on Law and Justice ke-6 (ICLJ ke-6), pada Senin (29/8/2022) di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bertema “Tantangan Sharia’ Dalam Dunia Digital dan Smart Society 5.0. (five point zero)”.
Mengawali sambutannya, Wahiduddin yang hadir secara langsung menyatakan hingga saat ini masih sering ditemukan berbagai kesalahpahaman hingga stigma yang keliru. Syariat tidak jarang direduksi sehingga seolah-olah muncul kesan bahwa syariat merupakan suatu tradisi dan bentuk hukum yang usang (obsolete) dan boleh jadi dinilai ‘tidak ramah’ pada jaminan hak asasi manusia (Human Rights).
“Padahal, filosofi, esensi, dan nilai-nilai syariat (apabila dipahami dengan tepat) justru merupakan hukum yang ‘tak lekang dimakan zaman’ sekaligus senantiasa mampu bersifat adaptif sesuai dengan kondisi wilayah dan kemasyarakatannya (shalihun likulli al-zaman wa al-makan), sebab sebagaimana pendapat Wahbah Az-Zuhaili (pakar fikih abad ke-21), syariat pada hakikatnya memiliki sifat keteraturan dan komprehensivitas, sesuai dengan fitrah manusia, serta senantiasa mengutamakan keadilan dan kemaslahatan,” ujar Wahiduddin.
Disrupsi Digital
Menurut Wahiduddin, dalam kamus Merriam-Webster, syariat secara etimologis dan konseptual dimaknai sebagai bentuk hukum yang secara trasendental bersumber dari firman Allah SWT dalam kitab suci Al Qur’an yang kemudian dilengkapi pula dengan hadits/sunnah Rasulullah Muhammad SAW dan secara teoritik tidak hanya mengatur akidah, tetapi juga meliputi muamalah seperti politik, ekonomi, sosial, hukum pidana, dan etika. Hingga mengatur pula soal-soal privat yang (apabila dipahami secara keliru) seringkali dianggap sebagai hal-hal yang sederhana, seperti perkawinan/rumah tangga, waris, hingga tata cara makan dan masuk ke toilet.
“Jika dikaitkan dengan tema konferensi internasional ini, maka Syariat akan dimunculkan dalam dimensi muamalah, khususnya tawaran konsep Syariat bagi manusia dalam menyikapi fenomena disrupsi digital menuju terwujudnya Global Smart Society di era 5.0. (five point zero),” ujar Wahiduddin di hadapan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Amany Burhanuddin Lubis dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie.
Lebih lanjut Wahiduddin menjelaskan, disrupsi secara sederhana dimaknai sebagai suatu perubahan dalam arti yang sangat spesifik. Secara alamiah (by nature), selalu ada yang lahir, berkembang, berjaya, pudar, hingga akhirnya menghilang, dan (dalam beberapa hal) muncul kembali dalam bentuknya yang baru. Islam secara teologis memiliki istilah dan konsep yang spesifik, yakni Taghayyur. Secara lebih spesifik lagi di bidang hukum dikenal sebagai Taghayyur al-Ahkam.
“Terkait dengan konsep Taghayyur al-Ahkam ini, Al-Qur’an sebagai sumber utama Syariat memiliki salah satu fungsi pokok sebagai pendorong lahirnya berbagai perubahan positif bagi kemaslahatan kehidupan individu dan masyarakat,” paparnya.
Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Wahiduddin menerangkan, hidup dan kehidupan manusia juga mengalami disrupsi yang nyata. Manusia yang tidak adaptif dengan perubahan zaman, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentu akan memiliki masalah besar dalam kehidupannnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, aktivitas yang sebelumnya banyak dikerjakan secara langsung oleh manusia mulai tergantikan oleh berbagai produk ilmu pengetahuan dan teknologi, baik secara revolusioner maupun evolusioner. Efisiensi menjadi kata dan sekaligus jargon utama yang acapkali digaungkan manusia guna mempermudah kehidupannya. Namun pada sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan efisiensi sebagai jargon utamanya justru tidak jarang bersifat kontra produktif dan bahkan juga cenderung destruktif bagi kehidupan dalam arti yang luas.
“Efisiensi melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali juga melahirkan suatu fenomena dehumanisasi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia terkadang hanyut dalam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat omnipotence sehingga manusia meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menggantikan seluruh potensi (omnipotence) yang sejatinya dan sejak awalnya hanya Tuhan anugerahkan secara spesifik kepada manusia. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dengan dalih demi efisiensi, peran qalbu manusia seringkali menjadi semakin marjinal dalam suatu pembentukan hukum,” terang Wahiduddin.
Landasan Konstitusional ITE
Dalam ceramahnya, Wahiduddin menjelaskan UUD 1945 saat ditetapkan pada 18 Agustus 1945, belum memuat konsep dan istilah ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih lagi transformasi digital. Namun dalam perkembangannya, para penyusun empat kali perubahan UUD 1945 secara tegas dan visioner mencantumkan norma konstitusi dalam Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 sebagai salah satu hasil nyata dari perubahan keempat UUD 1945. Selain itu, dalam perubahan kedua UUD 1945, pemanfaatan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah diatur sebagai jaminan HAM dalam Pasal 28C dan Pasal 28F UUD 1945.
“Jika dikaitkan dengan tema konferensi internasional ini, yakni ‘Tantangan Syariat Dalam Dunia Digital dan Smart Society 5.0. (five point zero)’, Indonesia sejatinya telah memiliki landasan konstitusional yang tegas dan visioner bahwa pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tugas Pemerintah yang harus dilakukan dengan syarat utama, menunjung tinggi nilai-nilai agama,” ucap Wahiduddin.
Setelah syarat tersebut terpenuhi, Wahiduddin menyebut barulah dipenuhi pula syarat-syarat lain bahwa suatu pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga harus dilakukan demi persatuan bangsa dalam arti pengutamaan kepentingan nasional, tetapi sekaligus juga ditujukan untuk “kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia” agar negara, setiap warga negara, maupun setiap Badan Hukum Indonesia, tidak terjebak pada sifat dan sikap chauvinistik.
“Adapun terkait konsep smart society, Islam sejatinya menawarkan konsep masyarakat madani sebagai suatu tatanan sosial yang diterapkan oleh Rasulullah Muhammad Saw pasca disepakatinya Piagam Madinah (Madinah Charter) yang tentunya juga saya asumsikan cukup familiar di kalangan para ahli perbandingan hukum (comparative legal scholars),” ucap Wahiduddin.
Diakhir sambutannya, ia menegaskan, salah satu tantangan besar bagi kita sebagai umat manusia dan warga dunia dalam konteks transformasi digital untuk mewujudkan smart society di era 5.0. (five point zero)” adalah memastikan terwujudnya kesejahteraan umum bagi warga dunia.
Untuk diketahui, ICLJ merupakan konferensi yang bertujuan untuk menyatukan akademisi, peneliti, praktisi, mahasiswa dan kelompok lain yang berkepentingan dalam isu keadilan dan inovasi teknologi dalam kerangka hukum, syariah, dan hak asasi manusia untuk berbagi karya dan pengalaman mereka terkait dengan topik. ICLJ 2022 ini selanjutnya akan membahas tema “Syariah menuju Dunia Digital: Terobosan dalam Bidang Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia dalam Smart Society 5.0".(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.