JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) pada Senin (22/8/2022). Perkara Nomor 77/PUU-XX/2022 tersebut diajukan oleh Ahmad Amin yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh ini, Pemohon mendalilkan Pasal 16 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945.
Ahmad yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menyebutkan pasal-pasal a quo dinilai telah menduplikasi besaran gaji pokok PNS yang merupakan hak Pemohon menjadi besaran tunjangan profesi sebesar setara satu kali gaji pokok; tunjangan khusus sebesar setara satu kali gaji pokok; dan tunjangan kehormatan guru besar/profesor sebesar setara dua kali gaji pokok. Oleh karena itu, Pemohon berpendapat norma tersebut mengintervensi dan mendikte kewenangan Pemerintah/Presiden dalam merencanakan dan melaksanakan keuangan negara dalam APBN yang terbatas dan manajemen kepegawaian. Intervensi ini, sambungnya, telah menimbulkan keterjajahan kedaulatan Presiden untuk pengelolaan keuangan negara sehingga Pemerintah enggan menaikkan besaran gaji pokok dan membuat kebijakan gaji ke-14.
“Melalui kebijakan ini, Pemerintah seharusnya dapat menambah jumlah penerima tunjangan profesi sekitar 7% - 8% dengan anggaran yang sama. Kebijakan gaji ke-14 menjadi bukti nyata keterjajahan dan keengganan Pemerintah untuk menaikkan besaran gaji pokok PNS,” jelas Ahmad yang menghadiri persidangan secara daring dari kediamannya.
Keengganan Pemerintah demikian merugikan hak Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena gaji pokok Pemohon yang kecil tersebut berakibat pada tabungan hari tua yang rendah karena iuran rendah sebesar 3,25% dari besaran gaji pokok yang rendah, uang pensiun akan rendah karena iuran sebesar 4,75% gaji pokok yang rendah; tingkat kesejahteraan menurun karena gaji pokok yang ditetapkan tidak dapat mengimbangi tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi negara/nasional; ketidakpastian kedaulatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif yang menyusun rencana belanja keuangan negara, tetapi faktanya diperintah oleh legislatif dalam perencanaan belanja keuangan negara melalui norma UU Guru dan Dosen.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 16 ayat (2) Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), Pasal 56 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang menginisiatif menetapkan kegiatan belanja keuangan negara dan memerintahkannya kepada Presiden untuk dilaksanakan adalah Inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum mengikat. “Menyatakan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen a quo adalah Inkonstitusional dan membatalkan pemberlakuannya dan mencabutnya dari sistem perundang-undangan Indonesia atau batal demi hukum sehingga tidak berkekuatan hukum mengikat,” tandas Ahmad.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan beberapa catatan untuk disempurnakan oleh Pemohon. Salah satunya tentang isi posita yang belum memperlihatkan hubungan sebab akibat berlakunya norma yang diujikan terhadap kerugian hak-hak konstitusional Pemohon. Selain itu, Pemohon juga diharapkan dapat menjelaskan kerugian yang benar dialaminya dengan keberlakuan undang-undang yang diujikan untuk mempertegas kedudukan hukum Pemohon dalam perkara ini.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan catatan tentang sistematika permohonan Pemohon yang perlu disesuaikan dengan ketentuan hukum acara MK. Berikutnya, Pemohon juga disarankan untuk menyederhanakan permohonan dan fokus pada norma yangberkaitan dengan kerugian yang dialami secara runut dan sistematis. “Berkaitan dengan besaran tunjangan yang didalilkan dalam permohonan ini, mohon disertkan sumber-sumber yang valid untuk kisaran angka dari tunjangan dan gaji ini,” kata Daniel.
Selanjutnya Ketua Panel Saldi Isra memberikan catatan perbaikan untuk Pemohon mengenai kejelasan pokok permohonan yang diajukan sehubungan dengan UU Guru dan Dosen yang diujikan. Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat memperbaiki permohonan selambat-lambatnya 14 hari sejak sidang pertama perkara tersebut. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana