BLITAR, HUMAS MKRI – Masih dalam rangkaian penyampaian materi kuliah umum ke Jawa Timur, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berkunjung ke Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Balitar, Blitar pada Sabtu (20/8/2022). Enny menampilkan materi “Mahkamah Konstitusi dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara”.
Memulai paparan, Enny menuturkan sejarah pengujian undang-undang di Indonesia pada masa kemerdekaan. Kala itu Mohammad Yamin dalam sidang BPUPK mengusulkan agar Balai Agung (Mahkamah Agung pada masa itu) diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju, karena UUD yang disusun tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu.
Selanjutnya tahun 1970-an Ikatan Sarjana Hukum mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi wewenang menguji undang-undang. Berikutnya, gagasan pengujian undang-undang disebut dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 5 ayat (1), “MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan Ketetapan MPR”.
Pembentukan MKRI
Hingga akhirnya saat perubahan UUD 1945 pada 1999-2002, ide perlunya pengujian undang-undang kembali dilontarkan. Singkat cerita, pada 13 Agustus 2003 dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang memiliki kewenangan utama menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, serta wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum maupun perbuatan tercela. Selain empat kewenangan dan satu kewajiban, MKRI memiliki kewenangan tambahan untuk memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Amendemen UUD 1945, lanjut Enny, membawa perubahan pada kedudukan lembaga tinggi negara di Indonesia. Sebelum amendemen UUD 1945, MPR disebut sebagai lembaga tertinggi negara. Namun setelah perubahan UUD 1945, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, kedudukannya setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya seperti dengan DPR, BPK, MK, MA dan lainnya.
Pengertian dan Pengaturan HAM
Lebih lanjut Enny mengatakan bahwa terkait hak asasi manusia (HAM), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan pengertian HAM, “Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Pengaturan HAM pada era reformasi disebutkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998: penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan HAM oleh masyarakat dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengaturan HAM juga disebutkan dalam Tap MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR (dibatalkan MK No. 006/PUU-IV/2006). Termasuk juga dalam Paket UU Politik, UU Pers, UU Mahkamah Konstitusi, Ratifikasi instrumen internasional antara lain UU No. 11/2005 (Ratifikasi Kovenan Ekosob) dan UU No. 12/2005 (Ratifikasi Konvenan Sipol).
Dijelaskan Enny, perubahan UUD 1945 memunculkan Perubahan Kedua UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghasilkan ketentuan HAM dan menempatkannya pada Bab tersendiri yaitu Bab XA (Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J).
“Perlindungan HAM dalam UUD 1945 asli merupakan gagasan Hak Asasi Warga Negara (HAW) yang merupakan penerimaan terhadap HAM yang partikularistik. HAM mendasarkan pada paham bahwa secara kodrati manusia itu mempunyai hak-hak bawaan yang tidak dapat diambil atau dipindahkan oleh siapapun, sedangkan HAW hanya mungkin diperoleh jika seseorang menjadi warga negara dari suatu negara,” papar Enny yang juga menyebut hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24/2003.
Dengan demikian, lanjut Enny, HAM merupakan hak-hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) melalui Pasal 28G ayat (2) dan 28I ayat (1) UUD 1945. Selain itu, HAM semata-mata untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Konsekuensinya, kata Enny, muatan perubahan ini menunjukkan bahwa HAM diakui sebagai hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia (human rights) yang berbeda dengan hak warga negara (citizens rights) yang diberikan hanya kepada orang yang berstatus sebagai warga negara. Dengan telah tercantum HAM dalam Konstitusi, maka hak tersebut resmi menjadi hak-hak konstitusional setiap orang (constitutional rights). Hak konstitusional harus dilindungi dan dapat dituntut melalui Mahkamah Konstitusi.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.