JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam pertemuan hari kedua Kongres ke-5 Asosiasi Mahkamah Konstitusi Asia dan Institusi Sejenis (The Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions/AACC), Hakim Konstitusi Mongolia Odbayar Dorj dan Hakim Konstitusi Thailand Noppadon Theppitak memandu forum diskusi internasional yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Mongolia pada Jumat (19/8/2022) secara luring dari Ulaanbaatar, Mongolia. Kegiatan ini diikuti secara luring dan daring dari negara masing-masing peserta, di antaranya Myanmar, Uzbekistan, Kazakhstan, Indonesia, Korea Selatan, Turki, Thailand, Mongolia, Pakistan, Bangladesh, dan India.
Paparan dari Hakim Konstitusi Thailand Noppadon Theppitak yang berjudul “Constitutional Review in Challenging Times: Constitutional Justice versus Social Change in Thailand” mengetengahkan tentang keunikan hubungan antara pemerintah Thailand dengan komunitas LGBTQ dalam hal perubahan sebuah norma undang-undang. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk dengan pemeluk Buddha, elemen konservatif Thailand tidak terkait dengan intoleransi agama terhadap identitas komunitas ini. sehingga dapat dikatakan masyarakat dan budaya Thailand secara tradisional menerima keberadaan tiga jenis kelamin utama, yakni laki-laki, perempuan, dan laki-laki-perempuan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kata Noppadon Theppitak, hak-hak LGBTQ secara aktif diadvokasi oleh pemerintah dan partai-partai oposisi akibat adanya urgensi untuk mendorong kesetaraan gender. Maka, dilakukan amendemen terhadap dua rancangan undang-undang, yakni Undang-Undang Kemitraan Sipil dan Undang-Undang Kesetaraan Perkawinan. Lebih lanjut Noppadon Theppitak menyebutkan bahwa mendapati perubahan sosial yang ada ini maka Mahkamah Konstitusi Thailand dapat dikatakan telah berdiri di sisi rakyat dan berkeyakinan untuk semakin mencapai keadilan bagi masyarakat meskipun tidak dapat terlepas dari tantangan dan tekanan eksternal atau globalisasi yang ada pada masyarakat modern. “Dengan perspektif ini kami berharap dapat melanjutkan proses untuk memastikan tegaknya keadilan yang dapat diakses secara merata bagi masyarakat Thailand secara benar dan adil,” jelas Noppadon Theppitak.
Amendemen Butuh Waktu
Paparan berikutnya datang dari Munkhsaikahn Odonkhuu selaku Direktur Lembaga Penelitian Hukum Konstitusi pada National University of Mongolia (NUM). Dalam pidato berjudul “The National Consensus Facilitated Providing for the Amendements to the Constitution in 2019” ini, Munkhsaikahn Odonkhuu menceritakan bagaimana upaya pemerintah Mongolia melibatkan masyarakat dalam ruang-ruang pelaksanaan amendemen konstitusi negaranya. Diakuinya, pada masa 1999, 2000, 2011, 2012, dan 2015 sebuah norma undang-undang disusun dan diajukan secara langsung tanpa adanya diskusi atau keterlibatan publik. Barulah pada perumusan dan pengesahan draf amendemen UUD Mongolia pada 2019, partisipasi warga diberikan secara konvensional dan modern. Dikatakan oleh Munkhsaikahn Odonkhuu bahwa proses amendemen yang dilakukan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama karena harus melibatkan publik atau masyarakat secara luas. Pada masa 2019 lalu, Mongolia menggunakan pendekatan poling musyawarah dengan kombinasi mendengarkan pendapat publik dengan melibatkan 2 dari 3 parlemen yang didiskusikan hingga lebih dari 8 tahun.
“Untuk itu, amendemen undang-undang pada 2019 yang telah dilakukan tersebut akan disahkan pada masa setelah anggota parlemen di periode terpilih berikutnya. Jadi anggota parlemen yang membuat amendemen bukanlah yang mengesahkannya, tetapi harus menunggu parlemen berikutnya karena dibedakan antara yang membuat dan mengesahkan. Jadi kami yakin bahwa konstitusi Mongolia adalah konstitusi rakyat,” kata Munkhsaikahn Odonkhuu.
Konstitusi Baru
Pidato lainnya datang dari Hakim MK Kirgiztan Jumabaev Latip dalam pembahasan berjudul “On Some Aspects of the Implementation of Constitutional Justice in the Kyrgyz Republic in the Context of the COVID-19 Pandemic.” Ia menyebutkan MK Kirgiztan mencatat adanya penyebaran virus corona mengakibatkan berlakunya keadaan darurat pada 22 Maret 2020. Dari hal ini pada 5-6 Oktober 2020 lalu terjadi gelombang ketidakpuasan sebagian masyarakat dengan hasil pemilu yang disertai kerusuhan serta ketidakstabilan sosial. Akibatnya, Jogorku Kenesh atau parlemen Kirgiztan melakukan adopsi hukum konstitusional yang disengketakan atas perkara ini. Sehingga pada 11 April 2021, dilakukan perubahan atas rancangan undang-undang Republik Kirgiztan tentang Konstitusi Republik Kirgiztan. Pada agenda ini, mayoritas penduduk yang berpartisipasi memilih untuk mengadopsi konstitusi baru Republik Kirgiztan.
Perubahan ini pun mulai berlaku sejak 5 Mei 2021. Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada Pasal 97 yang menyebutkan adanya perubahan pada Mahkamah Konstitusi Republik Kirgiztan dengan perluasan kekuasaannya. Mahkamah Konstitusi Republik Kirgiztan terdiri dari sembilan hakim, yakni ketua, wakil ketua, dan tujuh hakim Mahkamah Konstitusi. Para hakim tersebut, sambung Jumabaev Latip, dipilih oleh setidaknya setengah dari jumlah total wakil parlemen negara sesuai dengan batasan usia yang telah ditentukan. Perubahan tersebut juga mempengaruhi tata cara pengangkatan Ketua MK dan wakilnya, status dan organisasi serta perubahan pada hukum konstitusional secara langsung.
Pada kegiatan bertema “Recent Developments of Constitutional Justice in Asia" ini, beberapa delegasi negara menyajikan pembahasan terkait perkembangan peran lembaga peradilan di negara masing-masing. Di antaranya, Hakim MA India Dinesh Maheshwari mengangkat bahasan tentang “Constitutional Justice in Changing Times: Indian Perspective’; Hakim Konstitusi Thailand Noppadon Theppitak dengan topik pembahasan tentang “Constitutional Review in Challenging Times: Constitutional Justice versus Social Change in Thailand”; Munkhsaikahn Odonkhuu selaku Direktur Lembaga Penelitian Hukum Konstitusi pada National University of Mongolia (NUM) dengan bahasan mengenai “The National Consensus Facilitated Providing for the Amendements to the Constitution in 2019”; dan Hakim MK Kirgizstan Jumabaev Latip dengan pembahasan berjudul “On Some Aspects of the Implementation of Constitutional Justice in the Kyrgyz Republic in the Context of the COVID-19 Pandemic".
Penutupan Kongres AACC
Kongres AACC ke-5 telah berlangsung cukup baik dalam ruang diskusi dengan mengemukakan berbagai pemikiran yang baik pula. Berbagai pengetahuan dengan simulasi pendapat telah diuraikan dalam kongres yang telah berlangsung selama dua hari ini. Demikian penggalan pidato penutupan kegiatan Kongres ke-5 Asosiasi Mahkamah Konstitusi Asia dan Institusi Sejenis (The Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions/AACC) oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mongolia Chinbat Namjil yang sekaligus menjabat sebagai Presiden AACC (Masa Jabatan 2021 – 2023) pada Jumat (19/8/2022) sore.
AACC dibentuk dengan pertimbangan kebutuhan akan kerja sama yang erat antara Mahkamah Konstitusi serta institusi sejenis yang melaksanakan yurisdiksi konstitusional demi perkembangan demokrasi dan rule of law di Asia. Selain itu, asosiasi ini juga menjadi suatu wadah bagi pertukaran pengalaman dan informasi serta ruang diskusi berbagai masalah terkait praktik dan yurisprudensi konstitusional yang bermanfaat bagi perkembangan MK dan dan institusi sejenis di regional Asia.
“Atas nama MK Mongolia dan AACC saya mengucapkan terima kasih pada semuanya. Saya setuju dengan perubahan dunia, termasuk pandemi yang membutuhkan penyelesaian serius. Maka butuh pula tinjauan konstitusional di dalamnya. Inilah tugas kita untuk melindungi konstitusi dan menjamin hak asasi manusia, mengamankan demokrasi, dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian, dengan adanya kajian konstitusi ini maka diharapkan tidak terjadi krisis konstitusional dan memastikan penelitian dan pendekatan serta gagasan yang dipaparkan dalam forum ini dapat dijadikan bahan pemikiran ulang dalam membuat kebijakan hukum pada masa berikutnya,” ucap Chinbat Namjil.
Sebagai informasi, ide awal pembentukan AACC dimulai dengan pertemuan antara beberapa Mahkamah Konstitusi di Asia, termasuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada September 2005 di Ulanbataar, Mongolia. Pada pertemuan ini disepakati perlunya pembentukan sebuah asosiasi MK di wilayah Asia. Oleh karenanya perlu pula dilakukan pertemuan lanjutan guna membahas hal-hal yang dibutuhkan untuk pendirian asosiasi yang dimaksudkan tersebut. Dalam pertemuan lanjutan yang diselenggarakan pada 12 Juli 2010 di Jakarta, dilakukan penandatanganan Deklarasi Jakarta yang menjadi penanda berdirinya AACC secara resmi. Penandatangan deklarasi tersebut dilakukan oleh perwakilan dari Indonesia, Korea, Malaysia, Mongolia, Filipina, Thailand, dan Uzbekistan. Ketujuh negara inilah yang kemudian ditetapkan sebagai negara pendiri AACC.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.