JAKARTA, HUMAS MKRI - Lima pekerja rumah yang melakukan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU ketenagakerjaan) melakukan perbaikan permohonan pada Senin (15/8/2022). Mereka adalah Muhayati (Pemohon I), Een Sunarsih (Pemohon II), Dewiyah (Pemohon III) yang tinggal di Jakarta dan Kurniyah (Pemohon IV), Sumini (Pemohon V) yang tinggal di Cirebon. Para Pemohon menguji Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai definisi hubungan kerja.
Sejumlah perbaikan telah dilakukan Pemohon di antaranya terkait kedudukan hukum. Pemohon menguraikan mengenai hak konstitusi yang diberikan oleh Pemohon seperti yang tercantum dalam Undang‑Undang Dasar Tahun 1945.
“Kemudian kami juga menambahkan uraian terkait kerugian‑kerugian Pemohon. Uraian baik secara umum mengenai pengakuan hak‑hak pengakuan Pemohon, maupun secara khusus yang spesifik kerugian yang dialami oleh Para Pemohon selaku perkerja rumahan,” papar Wilopo Husodo selaku kuasa hukum.
Baca juga: Lima Pekerja Rumahan Uji UU Ketenagakerjaan
Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XX/2022 sebelumnya mendalilkan sebagai pekerja rumahan yang secara individu bekerja di rumah atau tidak berada di lingkungan perusahaan. Namun mereka mendapat perintah pekerjaan dari seorang perantara selaku pemberi kerja untuk melakukan suatu pekerjaan berupa produk barang/jasa. Pada 2017, para Pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk mempertanyakan status perlindungan hukum pekerja rumahan sebagai pekerja dan status hubungan kerja berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Namun pihak Kementerian Ketenagakerjaan memberikan tanggapan bahwa tidak ada istilah pekerja rumahan dalam UU ketenagakerjaan. Jika merujuk definisi pekerja pada UU Ketenagakerjaan, pekerja rumahan dapat dikategorikan sebagai pekerja. Namun pekerja rumahan dianggap sebagai pekerja yang berada di luar hubungan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan berpandangan bahwa karakteristik pekerja rumahan tidak memenuhi unsur-unsur persyaratan untuk menjadi pekerja yang berada dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu menurut kami, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja rumahan.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Serta menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja/buruh”. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim