JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU LPMPUTS) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Rabu (10/8/2022) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi Nomor 76/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Barid Effendi (Pemohon I) dan Dedy Sani Ardi (Pemohon II). Barid dan Dedy mengujikan Pasal 34 ayat (4) UU LPMPUTS yang menyatakan, “Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut oleh keputusan Komisi.”
Sidang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Barid dalam persidangan mengungkapkan bahwa ia merupakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dipekerjakan di sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan jabatan sebagai Kepala Biro Administrasi, dan terakhir sebagai staf ahli bidang kelembagaan dan kerja sama, keseluruhannya selama 10 (sepuluh) tahun lebih, tidak dapat memperoleh hak-haknya (kepangkatan dan hak-hak keuangan) seperti PNS pada lembaga negara lainnya dengan jabatan sebagai Kepala Biro. Hal ini terjadi karena jabatan struktural sekretariat KPPU tidak diakui oleh pemerintah.
Sedangkan Dedy Sani Ardi, ia pernah bekerja sebagai pegawai sekretariat KPPU yang merintis karier sejak 2001 sebagai staf administrasi sampai dengan 1 Oktober 2019 dengan jabatan terakhir sebagai Staf Ahli Komisi Bidang Ekonomi. Dedy sangat dirugikan oleh ketiadaan kepastian hukum tata kelola sekretariat KPPU yang berimplikasi pada ketiadaan status hukum atas jabatan dan kariernya sehingga memutuskan sikapnya untuk mengundurkan diri dari KPPU dan beralih profesi sebagai wirausaha. Sebagai pelaku wirausaha, jelas sangat dirasakan karena hadirnya KPPU dan sekretariatnya yang memiliki legitimasi yang sah secara hukum sangat dibutuhkan agar KPPU mampu menjalankan tugas dan wewenangnya serta mampu menjawab tuntutan dan tantangan zaman dengan dinamika persaingan yang semakin kompleks sehingga jaminan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kesempatan berusaha yang sama dapat terwujud.
Lebih lanjut Barid mengatakan, ketentuan Pasal 34 ayat (4) UU LPMPUTS bertentangan dengan UUD 1945 karena secara konstitusional kewenangan mengatur susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja adalah kewenangan pemerintahan yang hanya dimiliki oleh Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan pendelegasian kewenangan dalam Pasal 34 ayat (4) UU LPMPUTS juga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena tidak sesuai dengan tananan pemerintahan negara yang berdasarkan hukum.
“Ketentuan Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 tidak dapat diimplementasikan karena bertabrakan dengan ketentuan dalam perundang-undangan lainnya, antara lain UU ASN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Administrasi Pemerintahan. Dengan demikian tata kelola sekretariat KPPU yang sejak awal sampai sekarang beroperasi dalam membantu pelaksanaan tugas komisi, patut diragukan keabsahannya secara hukum pemerintahan,” jelas Barid.
Menurutnya, dalam Pasal 34 UU LPMPUTS tersebut nyata-nyata tidak ada amanat kepada Presiden untuk mengatur sekretariat KPPU. Fakta hukum yang terjadi kemudian adalah rumusan kedua ayat ini ditegaskan ulang dalam Pasal 12 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Keppres 75/1999), sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2008 (Perpres 80/2008), dan dijadikan sebagai landasan hukum dalam tata kelola organisasi dan kepegawaian sekretariat KPPU sejak awal sampai saat ini.
“Kewenangan berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 yang diberikan kepada Komisi dan kemudian dituangkan dalam Pasal 12 Keppres 75/1999 tersebut, secara limitatif hanya untuk mengatur ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat, dan tidak lebih dari itu,” terang Barid.
Penyalahgunaan Wewenang
Barid menerangkan, keputusan KPPU yang sejak awal berdirinya KPPU berlandaskan pada Keppres 75/1999 mengatur secara keseluruhan organisasi dan kepegawaian sekretariat KPPU jelas tidak ada dasar hukumnya serta melampaui kewenangannya. Hal ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Komisi sebagai hal yang dilarang dalam ketentuan Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan.
Dalam permohonannya, para Pemohon menyebutkan, terhadap pembiaran tata kelola sekretariat KPPU yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi dan tatanan hukum pemerintahan a quo, DPR selaku inisiator lahirnya UU LPMPUTS pun terkesan tidak serius dan setengah hati untuk menuntaskan amandemen UU LPMPUTS yang telah dirintis dan masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional Prioritas sejak tahun 2013.
Sejak awal berdiri sampai saat ini inkonstitusional tata kelola sekretariat KPPU masih terus berlangsung dan belum ada tanda-tanda yang kuat untuk diselesaikannya. Wajar, hal ini dikesankan adanya kenyamanan tersendiri dan/atau kepentingan yang ingin tetap dipertahankan sehingga KPPU sejak periode pertama sampai saat ini enggan dan setengah hati untuk memperjuangkannya. Dengan demikian permohonan uji materi Pasal 34 ayat (4) UU LPMPUTS terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh para Pemohon jelas sangat beralasan menurut hukum karena selain menuntut kerugian hak-hak konstitusional para Pemohon, juga menuntut kerugian konstitusional seluruh masyarakat Indonesia dan sekaligus mendorong pemerintah untuk mereformasi dan meluruskan tata kelola sekretariat KPPU.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan norma Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan para pemohon untuk memperbaiki permohonan dengan meringkas dan menjelaskan kedudukan hukum para pemohon. Kemudian, menjelaskan kerugian konstitusional para Pemohon yang notabene sudah tidak lagi menjabat atau bekerja di KPPU tetapi masih menganggap ada kerugian konstitusional. “Itu yang harus diclearkan dalam menjelaskan kedudukan hukum dalam permohonan ini. Relevansinya di mana ketika saudara sudah tidak lagi menjabat di sekretariat itu tetapi kok menganggap ada kerugian konstitusional. Sedangkan permohonan di MK berkaitan dengan Pasal 34 ayat (4) ini termasuk di antaranya waktu itu melalui permohonan Nomor 54 Tahun 2020 bahkan diajukan langsung oleh bagian pegawai di sana (KPPU). Nah, itu harus ada pembelahan bagaimana kalau pegawai yang masih aktif kemudian diberi legal standing karena ini menyangkut kesekretariatan. Nah sekarang bapak-bapak sebagai pemohon tetapi sudah tidak lagi bekerja di sana. Ini dijelaskan kerugian konstitusionalnya di mana?,” kata Suhartoyo.
Hal senada disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra. Para Pemohon diminta memberikan penjelasan yang kuat terkait legal standing. Saldi juga meminta para Pemohon agar mengelaborasi alas hukum dalam mengajukan permohonan, baik secara aktual maupun potensial.
“Harus ada penjelasan yang kuat kepada kami bahwa dua-duanya memiliki legal standing,” ujar Saldi Isra.
Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim memberikan waktu 14 hari kerja kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Pemohon diberikan waktu hingga Selasa, 23 Agustus 2022 untuk menyerahkan perbaikan permohonan kepada Kepaniteraan MK.
Bacaan terkait:
Menguji Eksistensi Kelembagaan dan Kesekretariatan KPPU
MK Tolak Permohonan Pegawai Sekretariat KPPU
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.