JAKARTA, HUMAS MKRI - Perbedaan mendasar antara Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat—baik konvensional maupun Syariah—adalah bahwa BPR bukan termasuk Bank Pencipta Uang Giral (BPUG). Hal tersebut sesuai dengan larangan bagi BPR/BPRS untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran yang tidak dapat dipisahkan antara larangan bagi BPR/BPRS untuk menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana Pasal 25 huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) dan Pasal 14 huruf a UU Perbankan.
Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif Hukum Bank Indonesia Rosalia Suci Handayani dalam sidang pengujian UU Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (10/8/2022). Perkara Nomor 32/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan).
“Berkenaan dengan hal tersebut, maka larangan bagi BPR/BPRS untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran diberikan dalam 4 (empat) batasan aktivitas, yaitu: tidak dapat menerima giro dari nasabah; tidak dapat menerbitkan cek atau bilyet giro; tidak dapat mengikuti kliring cek atau bilyet giro; serta tidak dapat membuka rekening di BI untuk kepentingan kliring dan setelmen,” ujar Rosalia mewakili Bank Indonesia sebagai Pihak Terkait.
Rosalia menjelaskan, dalam hal BPR/BPRS diperkenankan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran secara langsung meskipun dengan kegiatan ‘terbatas’ sebagaimana permintaan pemohonan seperti transfer, Gerbang Pembayaran Nasional, dan BI-FAST, hal tersebut akan mengaburkan fungsi BPR/BPRS sebagai non-BPUG berbeda dengan Bank Umum yang merupakan BPUG. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa jasa lalu lintas pembayaran yang tidak bisa dilakukan oleh BPR/BPRS sesuai UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah adalah jasa lalu lintas pembayaran yang dilakukan secara langsung tanpa perantara Bank Umum. “Adapun BPR/BPRS tetap dapat menyediakan jasa lalu lintas pembayaran secara tidak langsung dengan membuka rekening atau bekerja sama dengan Bank Umum,” jelas Rosalia.
Baca juga: DPR Sampaikan Perbedaan Kewenangan BPRS dengan Bank Umum
Rosalia melanjutkan, konteks pembatasan dalam layanan lalu lintas pembayaran sebagaimana yang diatur dalam UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah yang merupakan larangan bagi BPR yang bukan merupakan Bank Pencipta Uang Giral (BPUG) untuk terlibat dalam proses giralisasi tersebut timbul mengingat pada saat awalnya lalu lintas giral hanya dilakukan melalui kliring di BI untuk Cek dan Bilyet Giro sebagai instrumen pembayaran yang dapat melakukan overdraft di bank.
“Dalam perjalanannya, produk tabungan perbankan berkembang dan dapat dilakukan transfer dana antar rekening tabungan tanpa melalui kliring BI, melainkan switching. Terkait hal tersebut, BPR/BPRS diperkenankan untuk untuk memindahkan dana antar bank melalui rekening BPRS di Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (sebagai indirect participant),” urai Rosalia.
Baca juga: Faisal Basri: BPRS Bisa Berperan dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Sementara Ahli Presiden Zulkarnain Sitompul mengatakan bank adalah perusahaan yang memiliki karakter khusus. Karakter khusus tersebut setidaknya dapat dilihat dari dua hal. Kegiatan usaha utama bank adalah menyalurkan kredit. Dana yang disalurkan oleh bank sebagai kredit tersebut berasalah dari dana yang disimpan oleh masyarakat pada bank (nasabah penyimpan).
“Ini berarti, kegiatan usaha utama bank dibiayai oleh uang milik masyarakat. Kedua, dana yang disimpan masyarakat pada bank wajib dikembalikan oleh bank kapan saja ditagih oleh pemilik dana, sedangkan dana yang disalurkan bank sebagai kredit hanya dapat ditagih oleh bank sesuai dengan perjanjian kredit. Hal ini berarti bank menghadapi risiko likuiditas setiap saat,” terang Zulkarnain.
Menurut Zulkarnain, untuk memitigasi risiko likuiditas tersebut, bank wajib memelihara tingkat kesehatannya yang antara lain dengan menyediakan modal yang cukup sebagaimana yang ditetapkan oleh Otoritas Pengawas Perbankan, dalam hal ini adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Besarnya modal yang wajib dipenuhi oleh bank disesuaikan dengan jenis bank berdasarkan kegiatan usaha yang boleh dilakukan.
Zulkarnain mengatakan, dalam melaksanakan kegiatan usaha, bank wajib menerapkan manajemen risiko. Sebagaimana diatur Pasal 38 UU Perbankan Syariah. Penjelasan Pasal 38 menjelaskan “yang dimaksud dengan manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan oleh perbankan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.” Dengan kata lain, semakin luas kegiatan usaha yang dilakukan semakin besar risiko yang dihadapi oleh bank. “Salah satu mengatasi resiko adalah dengan permodalan. Modal sebagai bumper kerugian potensial yang dihadapi oleh Bank. Oleh karena itu, bank diwajibkan mengelola resiko mereka,” tegas Zulkarnain.
Baca juga: Pelarangan BPRS dalam Lalu Lintas Pembayaran Pengaruhi Pelayanan kepada Nasabah
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS.
Menurut pemohon pembatasan dan larangan untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPR Syariah tidak optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat terutama usaha mikro kecil untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Lebih lanjut Kamal mengatakan, Bank Indonesia menetapkan kebijakan National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi. Dengan adanya norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah, BPR Syariah tidak dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal-pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana