BOGOR, HUMAS MKRI – Hari Kedua Bimtek Bagi YLBHI dan Se Organisasi Jejaring yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Pusat Pendidikan (Pusdik) Pancasila dan Konstitusi digelar secara daring pada Rabu (10/8/2022) di Pusdik Pancasila dan Konstitusi, Cisarua Bogor.
Para narasumber hadir menyajikan sejumlah materi terkait Konstitusi dan MK. Peneliti Senior MK, Pan Mohamad Faiz menampilkan materi “Mahkamah Konstitusi dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
“Belakangan, perjuangan membela hak asasi manusia banyak yang mengarah ke MK. Saya banyak diskusi tidak hanya dengan para penggerak demokrasi, tetapi juga aktivis hak asasi manusia menempuh jalur melalui MK ketika melakukan berbagai macam advokasi. Tidak melulu melalui jalur parlemen,” jelas Faiz.
Judicialization of Politics
Bahkan MK dengan berbagai kewenangannya, lanjut Faiz, disebut sebagai judicialization of politics. Karena kebijakan yang menyangkut ranah publik bisa diperjuangkan melalui MK. Kebijakan ini banyak erat kaitannya dengan politik. Misalnya, pembentukan undang-undang merupakan satu proses politik antara pemerintah dan legislatif, dalam hal ini anggota DPR.
Dikatakan Faiz, seringkali orang membicarakan Konstitusi, tetapi banyak juga orang yang sering menggunakan istilah UUD. Sebenarnya apa beda Konstitusi dengan UUD? Konstitusi dapat dibedakan dalam arti sempit, dalam hal ini UUD 1945. Sedangkan Konstitusi dalam arti luas adalah nilai-nilai dasar kenegaraan. Konstitusi merupakan sumber bagi seluruh undang-undang dan peraturan perundangundangan lainnya di suatu negara. Dalam konteks supremasi Konstitusi, segala keputusan dan tindakan apa pun harus sesuai dengan Konstitusi.
“MK dalam pengujian undang-undang banyak melakukan penafsiran-penafsiran yang kita sebut sebagai constitutional interpretation atau penafsiran Konstitusi yang menjadi dasar bahwa MK dalam pengujian undang-undang tidak hanya terbatas pada teks yang ada UUD 1945. Tetapi MK dapat merujuk pada prinsip dan dasar kenegaraan. Selain itu bisa melakukan comparative study. Bahkan di Afrika Selatan, Konstitusinya menyatakan bahwa dalam memutus perkara-perkara konstitusional dapat merujuk Konstitusi negara lain. Itu menarik, tidak hanya merujuk Konstitusi negara sendiri,” ungkap Faiz yang juga menguraikan sejarah pengujian undang-undang di dunia melalui Kasus Marbury vs Madison (1803).
Lebih lanjut Faiz menerangkan hak konstitusional sebagai hak warga negara yang tercantum baik eksplisit maupun implisit dalam UUD 1945. Sementara hak asasi manusia bisa saja tidak tercantum Konstitusi, tetapi disebut sebagai hak asasi manusia.
Lainnya, Faiz menguraikan kewenangan-kewenangan MK yakni menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum maupun perbuatan tercela.
Baca juga: Aswanto: Negara Hukum Tidak Sekadar Jargon, Tapi Diimplementasikan
Penafsiran Konstitusi
Sementara itu Kepala Bagian Humas dan Kerja sama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono menyajikan materi “Penafsiran Konstitusi”. Fajar mengatakan, dari berbagai fungsi dan kewenangan MK di banyak negara, salah satu atribut yang menonjol yakni MK sebagai The Final Interpreter of Constitution atau Penafsir Akhir Konstitusi.
“MK dihadirkan memang sebagai Penjaga Konstitusi. Dalam menjaga Konstitusi, MK melalui kewenangan-kewenangan yang dimiliki kemudian melakukan aktivitas penafsiran Konstitusi,” ucap Fajar.
Diungkapkan Fajar, Konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam konteks bernegara, bersifat abstrak. Dalam keabstrakan itulah, Konstitusi sangat terbuka untuk ditafsirkan oleh siapapun. Misalnya, para mahasiswa yang sedang mendalami ilmu hukum, membuat makalah dan sebagainya, diperbolehkan menafsirkan Konstitusi. Termasuk juga dosen, bahkan pembentuk undang-undang boleh menafsirkan Konstitusi.
“Tapi, di antara kebolehan-kebolehan itu, di antara banyak tafsir Konstitusi itu, ketika terjadi satu konflik perbedaan tafsir terkait MK, maka inilah yang menjadi masalah. Lalu tafsir yang benar dan mengikat itu yang bagaimana? Kalau kemudian sengketa tafsir Konstitusi dibawa ke MK menjadi permohonan pengujian undang-undang, maka nantinya MK akan memutus permohonan. Dalam putusan itulah, MK akan memutuskan tafsir konstitusionalnya yang benar dan berlaku mengikat. Meskipun secara natural, putusan MK pasti akan menimbulkan pro dan kontra,” tegas Fajar.
Formil dan Materiil
Panitera Pengganti MK, Achmad Edi Subiyanto membawakan materi “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang”. Edi menerangkan bahwa dalam pengujian undang-undang (PUU) terhadap UUD terdapat dua model atau dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
“Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian undang- undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Edi.
Edi juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.
Edi melanjutkan materinya dengan menerangkan tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu, ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK.
Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi. Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Dalam sidang pengujian undang-undang tidak menghadirkan pihak Termohon karena objeknya pengujian undang-undang. Berbeda dengan sidang perselisihan hasil pemilu maupun pilkada yang menghadirkan pihak Pemohon, Termohon, Bawaslu, Pihak Terkait.
Bicara putusan Mahkamah Konstitusi, lanjut Edi, didasari oleh Pasal 47 UU MK yang menyebut, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.
Kemudian ada beberapa jenis putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Tidak dapat diterima, menyatakan permohonan tidak dapat diterima; Dikabulkan, menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Ditolak, menyatakan menolak permohonan; Dikabulkan sebagian, menyatakan permohonan dikabulkan sebagian; Konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
Untuk informasi, kegiatan tersebut diadakan pada Selasa – Jumat (10 – 13/8/2022) yang diadakan di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor yang dihadiri secara daring oleh 186 orang peserta dari YLBHI. Para peserta akan mendapatkan materi tentang Mahkamah Konstitusi dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi; Penafsiran Konstitusi; Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; serta Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.