JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kesebelas pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada Senin (8/8/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan Nomor 63/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian UU Hak Cipta ini diajukan oleh PT Musica Studios.
Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dua Ahli yang dihadirkan Indra Lesmana dan Ikang Fawzi (Pihak Terkait) yakni Ahmad M. Ramli dan OK Saidin. Dalam persidangan secara daring Ahmad M. Ramli mengatakan hak cipta bersifat tidak berwujud dan melekat kepada kreativitas penciptanya secara eksklusif. Khusus untuk hak cipta lagu atau buku, Ahmad menjelaskan bahwa hak cipta tidak semata-mata sebagai objek tidak berwujud, tetapi sebagai objek yang dimiliki secara eksklusif oleh penciptanya yang bisa digunakan secara bersama-sama dan pada waktu yang sama oleh banyak.
Sehingga menurut Ahmad, tidak wajar apabila pencipta memproduksi sendiri (bekerja sama dengan orang lain) untuk merekam lagu atau menerbitkan buku kemudian tidak bisa melakukannya lagi karena sudah terikat dengan perjanjian jual putus yang tidak berbatas waktu. Padahal dalam pandangan Ahmad, UU Hak Cipta pada prinsipnya mengakui dan melindungi tidak hanya hak-hak pencipta, tetapi juga hak-hak pihak yang terkait seperti produser, musisi, penyanyi, dan lembaga penyiaran, terlebih lagi hak produser fonogram yang berlaku hingga 50 tahun.
“Dengan arti kata, jika produser menjadi pihak pembeli jual putus, maka ia akan tetap memiliki hak ekonomi sebagai hak terkait selama total 50 tahun. Jadi, meskipun hak cipta (hak ekonomi) telah kembali (reversionary) kepada penciptanya, pemilik hak terkait tetap memiliki hak ekonomi berdasarkan ketentuan UU Hak Cipta sampai total 50 tahun lamanya,” jelas Ahmad.
Hak Pembeli Jual Putus Dilindungi
Ahmad juga berpandangan, UU Hak Cipta telah secara bijaksana menghormati hak absolut para pihak yang telah membuat perjanjian jual putus. Sepanjang 25 tahun tidak boleh ada pihak manapun termasuk pencipta untuk memproduksi sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain dalam memproduksi objek hak cipta tersebut. Maka selama 25 tahun, hak pembeli jual putus dilindungi dari kemungkinan kompetitor lain yang menggunakan objek yang sama.
Namun setelah 25 tahun, sambung Ahmad, objek tersebut harus dikembalikan kepada pencipta. Dengan demikian, pencipta memiliki hak untuk mendapatkan kembali royalti dan hak ekonomi atas ciptaan. Setelah 25 tahun tersebut dapat menjadi momen terbaik bagi para pencipta dan produser untuk melakukan renegoisasi dalam mengomersialisasikan lagu dan/atau bukunya. Hal ini menjadi sangat relevan terutama di era transformasi digital bahwa pihak yang memberikan "royalti" dan hak-hak ekonomi tidak sebatas pada produser atau penerbit lagi. Untuk memudahkan, Ahmad mengilustrasikan bahwa saat ini misalnya potensi penghasilan dari platform digital jauh lebih signifikan dibandingkan dengan hasil penjualan CD atau DVD yang sudah semakin terdisrupsi, sehingga sumber revenue menjadi sangat beragam.
“Jika terjadi kerja sama konstruktif mutualistik setelah 25 tahun, maka lagu-lagu Indonesia akan semakin marak di jagad platform digital. Maka setelah renegoisasi produser, penyanyi, dan pencipta diharapkan akan memperoleh revenue dari komersialisasi digital ini yang mungkin bisa lebih berkualitas setelah diproses remastering dan proses digital selanjutnya. Keadaan ini juga akan menguntungkan publik sehingga lebih mudah menikmati lagu-lagu favoritnya tanpa terhalangi pelanggaran hak cipta. Sehingga kita harus mendorong publik untuk menghargai para pelaku hak cipta ini, antara lain dengan mengarahkan mereka hanya mengakses lagu-lagu di kanal official yang dimiliki pencipta atau yang berhak,” jelas Ahmad.
Karakteristik Hak Cipta
Ahmad berikutnya menjabarkan secara spesifik mengenai karakteristik hak cipta dari sisi batas waktu. Keberadaan hak cipta dibatasi oleh jangka waktu perlindungan yang paralel dengan hak ekonomi penciptanya. Berdasarkan UU Hak Cipta dan juga berbagai praktik internasional pasca-jangka waktu, maka objek hak cipta akan menjadi public domain, sehingga bebas digunakan oleh siapapun.
Karakteristik berikutnya, di dalam obyek hak cipta selain terkandung hak ekonomi juga terdapat hak moral. Hak moral ini, jelas Ahmad, diatur dalam Pasal 5 hingga Pasal 7 UU Hak Cipta. Singkatnya, hak moral menjadi hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta dan tidak dapat dialihkan selama pencipta masih hidup, namun pada pelaksanaannya, hak ini dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain setelah pencipta meninggal.
“Oleh karena itu, apabila ada perikatan yang secara absolut mengklaim dan melarang pencipta untuk mendapatkan hak ekonominya sepanjang masa tanpa batas waktu, maka hak demikian bertentangan dengan prinsip keadilan dan prinsip kekayaan intelektual itu sendiri yang berbasiskan jangka waktu. Di sinilah esensi dari UU Hak Cipta yang membatasi jual putus itu selama 25 tahun” kata Ahmad yang menyampaikan keterangan secara daring.
Reversionary Right
Ahmad melihat reversionary right tersebut telah sesuai dengan amanat konstitusi, mengingat UU Hak Cipta dikonstruksikan untuk melindungi kreativitas anak bangsa sekaligus creativity of country level. Ahmad justru mempertanyakan nasib para kreator anak bangsa dalam menghasilkan karya cipta berkualitas terutama ketika hak ekonominya tidak dilindungi dan terbelenggu oleh perikatan masa lalu. Menurut Ahmad, posisi kreator itu lemah termasuk memperoleh nilai ekonomi, padahal objek hak cipta lagu itu “abadi” karena bisa terus hadir pada platform digital, bahkan dirilis ulang dan dikomersialkan. Untuk itulah, negara diharapkan hadir agar karya-karya besar anak bangsa tidak stagnan karena terlanjur dilakukan perjanjian jual putus.
“Banyak lagu tersandera perjanjian jual putus yang membuat penciptanya tidak bisa berbuat apapun atas lagu itu. Oleh karena itu, saatnya terjadi kolaborasi mutualistik antara pencipta dan hak terkait untuk menyongsong kebangkitan musik digital masa depan yang berbasis pada prinsip general reversionary right yang telah dipraktikan di berbagai negara,” jelas Ahmad.
Hak Cipta sebagai Benda Tak Berwujud
OK Saidin dalam keterangannya di persidangan mengatakan bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 499 KUH Perdata Indonesia, dapat dipastikan hak cipta itu adalah benda. Meskipun KUH Perdata tersebut tidak menyinggung tentang hak cipta dalam pasal-pasalnya, namun pada hakikatnya hak cipta itu merupakan harta kekayaan yang bersifat immaterial yang dapat dikuasai sebagai hak milik. Mengutip pandangan Prof. Mahadi, Saidin kembali mengatakan pada intinya hak atas buah pikiran itu adalah benda, yang kemudian menjadi karya dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang dilindungi sebagai hak cipta.
Jika diproses melalui belahan otak kiri (kecerdasan intelegensia) akan menghasilkan sciences (ilmu pengetahuan) dan jika diproses melalui belahan otak kanan (kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual) akan melahirkan karya seni dan sastra, baik karya dalam bidang ilmu pengetahuan maupun karya dalam bidang seni dan sastra. Kesemuanya dilindungi sebagai auteursrech atau copyright (hak cipta). Atas hal ini, Saidin mengajak semua pihak memahami sejarah penyusunan kodifikasi Hukum Perdata yang tertuang dalam BW (Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata Belanda) yang terkait dengan ketentuan mengenai benda tidak berwujud seperti surat-surat berharga, namun hak kekayaan intelektual belum sempat diatur dalam KUH Perdata tersebut sehingga BW Indonesia adalah kodifikasi hukum perdata yang belum selesai.
“Barulah hak cipta diterbitkan setelah 65 tahun kemudian dari diberlakukannya KUH Perdata, yaitu Auteurswet 1912 yang diundangkan dalam Staatblad No.600, Tanggal 23 September 1912 yang juga merupakan lex specialis dari KUH Perdata. Meskipun merupakan lex specialis dari KUH Perdata, hak cipta bersama dengan hak paten serta hak merek oleh Prof. Sri Soedewi dikatakan sebagai hak-hak yang dimasukkan dalam lingkup zaak sebagaimana tertuang dalam Pasal 499 KUH Perdata. Penegasan ‘tiap-tiap hak dan tiap-tiap barang yang dapat menjadi obyek atau dapat dikuasai dengan hak milik’ sudah cukup dijadikan alasan untuk menempatkan hak paten, merek, dan hak cipta adalah benda tidak berwujud (regten),” sebut Saidin.
Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada Selasa, 30 Agustus 2022 dengan agenda mendengarkan keterangan seorang saksi yang dihadirkan Pihak terkait Indra Lesmana dan Ikang Fawzi, serta seorang Ahli yang dihadirkan Piyu Padi. Untuk itu, keterangan dari para ahli yang akan menyampaikan keterangan lisan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK dua hari sebelum dilaksanakannya sidang tersebut.
Baca juga:
PT Musica Studios Persoalkan Ketentuan Batas Waktu Hak Milik dalam UU Hak Cipta
PT Musica Studios Kurangi Pasal Pengujian UU Hak Cipta
DPR: Pencipta Seharusnya Mendapatkan Banyak Keuntungan Ekonomi
Piyu PADI Anggap Aturan Jangka Waktu Batas Hak Cipta Lindungi Pencipta Lagu
Hak Cipta di Mata Para Musisi
Marcell Siahaan: UU Hak Cipta Melindungi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan
Perjanjian Jual Beli Putus dalam Pandangan Ahli Hukum dan Pelaku Industri Musik
Keterangan Ahli Belum Siap, Pemerintah Minta Tunda Sidang UU Hak Cipta
Hak Moral Melekat Abadi pada Diri Pencipta
Keterangan Tertulis Ahli Terlambat, Sidang Uji UU Hak Cipta Ditunda
Untuk diketahui, permohonan Nomor 63/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian UU Hak Cipta ini dimohonkan oleh PT Musica Studios. Materi yang dimohonkan untuk diuji yakni Pasal 18, Pasal 30, Pasal 122 UU Hak Cipta. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 18 UU Hak Cipta menyatakan, “Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.” Kemudian Pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan, “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.”
Pemohon pada intinya mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta menghalangi hak milik Pemohon atas suatu karya yang telah dilakukan perjanjian beli putus. Sebab pasal tersebut memberikan ketentuan batas waktu atas sebuah karya cipta, yang kemudian suatu karya tersebut harus dikembalikan pada pemilik cipta setelah 25 tahun. Pemohon menilai ketentuan tersebut merugikan karena hanya berstatus sebagai penyewa dan sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut pada pencipta karya.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan kehilangan hak ekonomi atas berlakunya ketentuan Pasal 122 UU Hak Cipta. Dengan dikembalikannya hak cipta kepada pencipta, Pemohon tidak dapat mengambil royalti atas eksploitasi yang dilakukan pihak lain atas atas fonogram dari sebuah karya tersebut. Oleh karenanya, Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.