JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (8/8/2022). Pada sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu ini, Zainudin Paru selaku kuasa hukum menyampaikan lima pokok permohonan yang disempurnakan.
Salah satunya mengenai kedudukan hukum Pemohon I yang terdiri atas Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu dan Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar. Pemohon I telah menyertakan AD/ART PKS untuk memperjelas keberadaannya sebagai partai politik. Selanjutnya Pemohon I juga telah memberikan uraian kedudukan hukum khusus yang dimiliki anggota DPR (dalam hal ini PKS) meski terlibat dalam penyusunan norma a quo.
Kemudian Pemohon II, Salim Segaf Aljufri, telah pula memberikan uraian tentang jadwal pendaftaran untuk calon presiden/wakil presiden yang dimulai sejak 19 Oktober 2023. Dari hal ini belum ada satu pun partai politik yang mendaftarkan calonnya. Sementara Pemohon II telah mendapatkan kriteria dari kedudukan hukumnya sebagaimana diamanatkan Putusan MK.
“Berikutnya Pemohon telah memperjelas mengenai data-data yang menyatakan alasan berbeda dengan permohonan-permohonan tentang ketentuan presidential threshold sebelumnya. Kami juga telah melengkapi bukti dan literatur, di antaranya Effective Numbers of Parliamentary Parties (FNPP) yang nantinya akan menghadirkan sejumlah ahli mengenai pemilu untuk penentuan angka presidential threshold yang bukan saja untuk memperkuat sistem presidensial tetapi juga kepartaian di Indonesia,” jelas Zainudin dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Baca juga:
PKS Uji Konstitusionalitas Ambang Batas Capres 20 Persen
PKS Minta Ambang Batas Capres 7-9 Persen
Sebagai informasi, permohonan Nomor 73/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diajukan oleh Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu dan Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar (Pemohon I) serta Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Aljufri (Pemohon II). Para Pemohon mendalilkan angka ambang batas 20% untuk kursi DPR atau 25% suara nasional yang dicantumkan Pasal 222 UU Pemilu membuat PKS tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden sendiri.
Selengkapnya Pasal 222 UU Pemilu menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Zainudin Paru selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (26/7/2022) mengatakan PKS berhak untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana hak konstitusional yang diberikan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun angka ambang batas yang terlalu tinggi tersebut membuat PKS berpotensi kehilangan hak konstitusionalnya. Sebagai partai dengan 7.1% kursi DPR dan 6.79% suara nasional pada Pemilu 2014 serta 8.21% kursi DPR dan 8.7% suara nasional pada Pemilu 2019 akan mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya angka ambang batas tersebut.
Zainudin selanjutnya menguraikan tentang kedudukan hukum Salim Segaf Aljufri (Pemohon II) adalah salah satu kandidat calon presiden yang mendapatkan dukungan dari PKS. Jika angka presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak terlalu tinggi, maka kemungkinan besar kerugian konstitusional yang dialami Pemohon II yakni hak politik berupa right to be candidate yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 tidak akan terhalangi.
Dalam petitum, PKS meminta MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu sepanjang frasa “…yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang persentase tersebut melebihi interval persentase sebesar 7% (tujuh persen) - 9% (sembilan persen) kursi DPR.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.