JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya tidak langsung mempunyai kekuatan hukum mengikat sesaat setelah dibacakan seperti putusan MK pada penyelesaian perkara pengujian undang-undang (UU), pemilu, atau pilkada. Sebab, kekuatan hukum tersebut harus dibawa ke MPR dan DPR untuk kemudian dibahas di sana. Meski MK menyatakan benar atau Presiden dan/atau Wapres tersebut tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana ditentukan UUD 1945, maka keputusannya dikembalikan pada MPR dan DPR. Oleh karena itu, pada hakikatnya MK berkewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945 tersebut. Demikian salah satu jawaban dari Hakim Konstitusi Suhartoyo terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Renaldo Sihotang dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan XIX yang diselenggarakan DPC Peradi Jakarta Barat bekerja sama dengan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) pada Sabtu (6/8/2022).
“Saat Putusan MK untuk perkara pemakzulan tersebut dibacakan, maka ada proses yang harus dilakukan lebih lanjut oleh DPR dan MPR. Oleh karenanya, perlu diketahui bahwa di MK antara satu kewenangan dengan kewenangan lainnya memiliki karakter yang berbeda-beda, termasuk dalam hal perkara pemakzulan tersebut,” jawab Suhartoyo.
Pada kuliah yang digelar daring dan luring ini, Suhartoyo membawakan materi berjudul “Beracara di Mahkamah Konstitusi”. Dalam pokok pembahasannya Suhartoyo mengulas mengenai dasar hukum pembentukan MK yang berpedoman pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Atas dasar inilah, lanjut Suhartoyo, MK kemudian memiliki kewenangan dan kewajiban dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga peradilan konstitusi. Kemudian dalam perkembangannya, MK juga berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu). Pertimbangannya tidak lain karena keberadaan Perpu juga menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU.
Berikutnya, Suhartoyo menjabarkan secara runut mengenai kewenangan MK dalam pengujian undang-undang (PUU) beserta istilah-istilah serta ketentuan dalam pengajuan permohonan PUU. Tak luput pula, Suhartoyo menjelaskan tentang bagaimana proses persidangan PUU di MK, mulai dari pengajuan permohonan online dan offline, sidang pendahuluan, sidang pemeriksaan, hingga pembacaan putusan. Lalu Suhartoyo juga menerangkan tentang kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU Legislatif), PHPU Presiden dan Wakil Presiden, dan pembubaran partai politik serta perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Kuasai Semua Hukum Acara
Pada sesi tanya jawab, salah satu peserta kuliah daring atas nama Egi Setiawan menanyakan soal dasar yang digunakan hakim konstitusi dalam pertimbangan hukum pada setiap perkara yang diselesaikannya. Atas pertanyaan ini, Suhartoyo menjabarkan jika hal ini bertalian dengan bagaimana dalam sebuah permohonan dapat menguraikan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon atas keberlakuan suatu UU. Menurut Suhartoyo, mulai dari sistematika permohonan hingga posita harus terlebih dahulu memuat materi permohonan yang jelas serta dilengkapi dengan adanya korelasi kerugian konstitusional yang termuat pada bagian kedudukan hukum Pemohon. Sehingga dalam hal inilah kemudian hakim dapat memberikan pertimbangan hukum yang jelas melalui syarat formil dan materil yang disertai pula dengan alat bukti yang bisa dibuktikan.
Sebelum menutup kuliah ini, Suhartoyo mengajak para mahasiswa hukum yang akan dilantik menjadi advokat ini untuk mampu, mau, dan mengharuskan setiap advokat untuk menguasai semua hukum acara. Sebab, hukum acara merupakan senjata yang harus ada dan dimiliki oleh advokat untuk “berperang” memperjuangkan hak-hak prinsipalnya.
“Kalau mau jadi advokat harus menguasai semua hukum acara, jika tidak menguasai sama seperti mau perang tapi tidak membawa senjata. Jika tidak bisa memperjuangkan dengan hukum acara yang benar, yang terjadi nanti malah keberadaan advokatnya melemahkan pembuktian. Perlu diingat, begitu dilantik menjadi advokat itu artinya adik-adik mahasiswa ini sudah menjadi penegak hukum. Dengan kata lain, sudah disejajarkan dengan penegak hukum lain seperti selevel dengan hakim, jaksa, kepolisian. Maka jika tidak menguasai dan punya hukum acara yang mumpuni, pastilah akan kalah memperjuangkan hak-hak prinsipal yang diperjuangkan. Jadi, perkuatlah dan pahami semua hukum acara,” nasihat Suhartoyo.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Nur R.