SURABAYA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi narasumber Diskusi Publik Penyusunan Dokumen Pembangunan Hukum Nasional: “Pembinaan Hukum di Daerah” Tahun 2022. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada Jumat (29/7/2022) di Hotel JW Mariott Surabaya.
Memulai paparan, Enny menjelaskan tujuan negara Republik Indonesia yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Selanjutnya Enny membahas pembinaan hukum nasional yang dilakukan BPHN, antara lain memiliki fungsi pelaksanaan analisis dan evaluasi hukum, perencanaan hukum, penyuluhan dan bantuan hukum, serta dokumentasi dan jaringan informasi hukum.
“Fungsi BPHN turut menentukan sejauhmana pembinaan hukum berimplikasi bagi terwujudnya hukum yang menyejahterakan,” kata Enny yang menyajikan materi “Desain Konstitusional Pembinaan Hukum di Daerah”.
Fungsi Analisis dan Evaluasi Hukum
Enny mengungkapkan, pada tahap awal terdapat kesulitan bagi BPHN untuk menjalankan fungsi analisis dan evaluasi hukum karena ketiadaan dasar hukum yang kuat untuk menjalankan fungsi tersebut. Hal demikian terjadi karena UU No. 12 Tahun 2011 hanya menentukan tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Berlakunya UU No. 15 Tahun 2019 dan UU No. 13 Tahun 2022 sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011, kata Enny, tidak terdapat juga perubahan mengenai tahapan pembentukan yang telah ditentukan di atas. Namun, terdapat hal baru dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan karena melalui UU No. 15 Tahun 2019 diakomodasi tahap “pemantauan dan peninjauan”. Bahkan, dalam Penjelasan UU a quo disebutkan bahwa “UU No. 15 Tahun 2019 merupakan penyempurnaan terhadap UU No. 12 Tahun 2011, dan untuk memastikan keberlanjutan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sejak perencanaan hingga Pemantauan dan Peninjauan”. Lebih lanjut, masih dalam Penjelasan yang sama diuraikan lagi bahwa “… dan pengaturan mengenai Pemantauan dan Peninjauan terhadap Peraturan Perundang-undangan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.
Pembinaan Hukum di Daerah
Berkenaan dengan Analisis dan Evaluasi (AE) pembinaan hukum di tingkat daerah, lanjut Enny, penting mengaitkannya dengan konsep Negara Indonesia sebagai negara kesatuan di mana pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintahan negara. Sekalipun pemerintahan daerah dapat mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind), namun terkait dengan urusan bidang hukum tetap menjadi urusan absolut pemerintah pusat.
Oleh karena itu, ujar Enny, pedoman AE merupakan bagian pengejawantahan urusan absolut bidang hukum maka seyogyanya juga “dapat” diterapkan sampai ke daerah. Dikatakan “dapat” karena ketentuan Pasal 95A UU No. 13 Tahun 2022 diletakkan dalam judul Bab “Pemantauan dan Peninjauan Terhadap Undang-Undang”. Artinya, pemantauan dan peninjauan tersebut hanya ditujukan untuk undang-undang yang hasilnya dapat menjadi usulan Prolegnas. Tidak ada ketentuan lain dalam UU No. 15 Tahun 2019 dan UU No. 13 Tahun 2022 mengenai sifat mutatis-mutandis ketentuan tentang “pemantauan dan peninjauan” juga diberlakukan pada ‘Peraturan Daerah” sebagaimana ketentuan-ketentuan sebelumnya yang selalu me-mutatis-mutandiskan untuk daerah.
Persoalannya, bagaimana dengan daerah apakah tidak dapat dilakukan pemantauan dan peninjauan terhadap Perda? Terkait hal ini, dapat dipahami jika ketentuan tersebut ditujukan pada undang-undang karena sejalan dengan konsep hierarki peraturan perundang-undangan, undang-undang menjadi dasar bagi pembentukan peraturan di bawahnya.
“Oleh karena itu, jika suatu undang-undang bermasalah akan berdampak pula pada berbagai peraturan di bawahnya. Terlebih lagi, salah satu materi muatan dalam pembentukan Perda adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” terang Enny.
Dengan demikian, jika pada level undang-undang sudah tidak ada persoalan lagi karena salah satunya kegiatan pemantauan dan peninjauan telah dapat berjalan efektif maka akan berdampak positif pada pembentukan peraturan pelaksana undang-undang. “Persoalannya adalah hingga saat ini kondisi peraturan perundang-undangan di Indonesia masih belum tertata dengan baik,” lanjut Enny.
Sementara itu, tujuan diberlakukannya ketentuan baru tentang pemantauan dan peninjauan adalah dalam rangka menuju penataan pembentukan peraturan perundang-undangan yang taat asas, baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, menjadi urgen untuk mendesain arah yang tepat supaya tujuan pemantauan dan peninjauan dapat diwujudkan semaksimal mungkin.
Arah Pembinaan Hukum di Daerah
Enny melanjutkan, dengan merujuk pada pengertian “pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang” yang dinyatakan sebagai kegiatan untuk mengamati, mencatat, dan menilai atas pelaksanaan undang-undang yang berlaku sehingga dapat diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. BPHN tentu dapat mendesain pola efektif untuk melakukan kegiatan-kegiatan dimaksud baik di lingkungan pemerintah pusat maupun di daerah. Kegiatan pemantauan dan peninjauan dimaksud dapat dilakukan pada tiga tahapan, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan undang-undang, serta pada tahap tindak lanjutnya.
Sebelum mengakhiri paparannya, Enny menegaskan bahwa Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2022 telah mengatur secara komprehensif mengenai partisipasi publik sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Ketentuan tersebut menghendaki adanya partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Artinya, walaupun tidak tegas dikatakan pemantauan dan peninjauan bagian dari siklus pembentukan, namun karena Penjelasan UU No. 15 Tahun 2019 mengaitkannya dengan tahapan pembentukan maka minimal perlu pula desain partisipasi publik dalam kaitan dengan hasil kegiatan pemantauan dan peninjauan. Pelibatan publik ini memiliki arti penting karena publik dapat terlibat secara pro aktif memberikan masukan pada seluruh tahapan dalam pemantauan dan peninjauan.
Selain itu, UU No. 13 Tahun 2022 juga telah menegaskan hadirnya jabatan fungsional “Analisis Hukum” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka mereka perlu mendapatkan bekal yang cukup untuk melakukan “analisis dan evaluasi” sebagaimana maksud Pasal 97C UU No. 13 Tahun 2022 serta memiliki pedoman kerja yang pasti, baku, dan standar dalam melakukan pemantauan dan peninjauan sehingga hasil yang dibuat oleh analisis hukum lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Terlaksananya seluruh kegiatan pemantauan dan peninjauan akan sangat membantu percepatan penataan regulasi yang selama ini sering dijadikan bahan diskusi dalam berbagai fora. Karena dampak dari belum tertatanya regulasi menyebabkan tidak terwujudnya kepastian hukum yang merupakan salah satu komponen penting bagi sebuah negara hukum,” tandas Enny.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.