BOGOR, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berdiri lebih tinggi dibanding Mahkamah Agung (MA) tetapi keduanya memiliki kedudukan yang setara sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Demikian disampaikan oleh Peneliti Ahli Muda MK Helmi Kasim pada Kamis (28/7/2022) dalam kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK).
Dikatakan Helmi, yang membedakan antara MK dan MA adalah kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga tersebut. Selain itu, ia menjelaskan, dengan mendudukan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, hal ini juga sekaligus mendudukan kedua lembaga itu sebagai salah satu cabang kekuasaan di antara tiga cabang kekuasaan yakni kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif, MA, MK sebagai kekuasaan yudikatif.
“Jadi, ketiga cabang kekuasaan ini baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif memiliki kedudukan yang setara. Sebelum perubahan UUD 1945 kita masih mengenal ada yang namanya lembaga tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat tetapi setelah undang-undang dasar 1945 diamandemen maka posisi sebagai lembaga tertinggi negara ini tidak ada lagi yang ada adalah lembaga negara dalam tiga cabang kekuasaan yang berkedudukan setara dan menjalankan fungsi dan kewenangannya masing-masing sesuai dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,” ungkap Helmi yang hadir secara daring dari Gedung MK, Jakarta.
Lebih lanjut Helmi menjelaskan, sesuai dengan ketentuan pasal 24 ayat 2 ini pelaku kekuasaan kehakiman termasuk MK didalamnya memiliki tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan. Jadi baik MK maupun MA maupun tugasnya adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun yang membedakan di antara keduanya selain kewenangan yang dimiliki masing-masing lembaga, yang tentu saja berbeda juga ukuran keadilan yang ingin ditegakkan itu. “Kalau MK sesuai dengan namanya maka ukuran keadilan yang ini ditegakkan adalah konstitusi itu sendiri. Jadi seluruh ketentuan konstitusi, pembukaan dan pasal-pasal konstitusi itu menjadi ukuran MK dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan dan konstitusional. Ukuran itulah yang membedakan secara mendasar kewenangan MK dan kewenangan MA, selain kewenangan spesifik masing-masing lembaga negara dalam tiga cabang kekuasaan, meskipun kesemuanya memiliki kedudukan setara,”jelasnya.
MK, sambung Helmi, adalah lembaga untuk menegakkan supremasi konstitusi yang apabila dilihat dari sisi ini dimaksudkan untuk memastikan agar tidak terdapat undang-undang yang melanggar konstitusi. Salah satu kewenangan MK melakukan judicial review Undang-Undang Dasar 1945 tidak dilanggar oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang ada di bawah khususnya undang-undang sesuai dengan kewenangan MK.
Helmi menyebut, MK merupakan produk dari hasil amandemen yang berlangsung dari tahun 1999 sampai dengan 2012. MK berdiri berdasarkan sebagai hasil dari perubahan UUD1945 yaitu pada tanggal 13 Agustus 2003 sesuai dengan undang-undang nomor 4 tahun 2003 tentang MK.
Penyusunan Permohonan
Sementara materi mengenai Teknik Penyusunan Permohonan Pengujian Undang-Undang disampaikan oleh Panitera Pengganti MK Rizky Amelia. Dalam penyampaian materi teknik penyusunan naskah, Rizky menyampaikan berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 7 ayat (1) PMK 2/2021, para pihak terdiri dari 3 (tiga) yang mana terdiri dari Pemohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait. “Ketiganya dapat diwakili oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan,” terang Rizky.
Rizky mengatakan, pihak yang dimaksud pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang. Pemohon sendiri terdiri dari perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara.
Dalam membuat permohonan, sambung Rizky, pemohon harus menguraikan kerugian konstitusional yang dianggap dirugikan. Hak konstitusional tersebut merupakan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yang kemudian hak tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Menurut Rizky, kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Selain itu, adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Pemberi Keterangan
Lebih lanjut Rizky menjelaskan, MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Keterangan Pemberi Keterangan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai fakta yang terjadi pada saat proses pembahasan dan/atau risalah rapat dari undang-undang atau Perpu yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon termasuk hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Pemberi Keterangan atau yang diminta oleh MK. “Pihak lain selain Pemberi Keterangan diposisikan sebagai Pihak Terkait,” ujar Rizky kepada para peserta bimtek.
Dikatakan Rizky, Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung dan/atau tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya secara langsung terpengaruh kepentingannya oleh pokok permohonan. Sementara Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung, sambung Rizky, pihak yang hak, kewenangan, dan/atau kepentingannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan dimaksud.
Selain itu, Rizky juga menjelaskan bahwa permohonan merupakan permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 atau pengujian Perpu terhadap UUD 1945. Permohonan pengujian undang-undang dan Perpu itu sendiri meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian materiil adalah pengujian yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang atau Perppu yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang atau Perpu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perpu.
“Permohonan dapat diajukan secara luring atau daring. Berkas permohonan sekurang-kurangnya terdiri atas Permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak satu eksemplar asli yang ditandatangani oleh Pemohon/Kuasa Hukum, Fotokopi identitas Pemohon/kuasa hukum dan surat kuasa, AD/ART, Permohonan sekurang-kurangnya memuat Identitas Pemohon dan/atau kuasa hukum, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan hukum Pemohon, Alasan permohonan; dan Petitum,” tandas Rizky.
Usai paparan materi, para peserta juga melakukan praktik penyusunan permohonan yang dimentori oleh Panitera Pengganti lainnya. Kegiatan PPHKWN ini diselenggarakan selama empat hari pada Selasa – Jum’at (26– 29/7/2022). Kegiatan yang diikuti oleh sebanyak 246 peserta dari 8 organisasi pekerja antara lain, KSP BUMN, KSBI, KSPI 1973 digelar secara daring tersebut, membahas mengenai pengujian undang-undang dan hukum acaranya.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.