TEMPO Interaktif, Jakarta: Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Lukman Hakim Syaifuddin mengusulkan agar masalah biaya perkara hukum diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi.
"Karena ada dua persepsi yang berbeda terhadap undang-undang," kata Lukman kepada Tempo, Minggu (20/4). Perseteruan mengenai biaya perkara ini dimulai ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan Mahkamah Agung ke polisi pada 13 September 2007. Alasannya, karena mahkamah menolak diaudit terkait penggunaan biaya perkara.
Presiden pun sudah turun tangan untuk meredakan ketegangan kedua lembaga ini. Pada 22 September tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang Ketua BPK Anwar Nasution dan Ketua MA Bagir Manan ke Istana.
Pertemuan itu menggagas pembentukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari biaya perkara. Kemudian BPK dan MA pun menyusun rancangan peraturan tersebut.
Belakangan, mahkamah tetap menolak rancangan peraturan pemerintah tentang biaya perkara di Mahkamah Agung yang memasukkan biaya perkara dalam kategori penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Alasannya, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata), biaya perkara didefinisikan sebagai suatu uang penjaminan perkara. Sehingga, biaya perkara bukan uang negara apalagi bagian dari penerimaan negara karena merupakan uang titipan pihak ketiga.
Sementara BPK berpendapat sikap mahkamah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dimana BPK bertugas memeriksa keuangan lembaga negara. Buntut perseteruan ini. BPK mengancam tidak memberikan pendapat (disclaimer) terhadap Laporan Keuangan mahkamah tahun 2007.
Lukman menyarankan, salah satu dari dua lembaga itu mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. "Mana yang lebih kuat landasan hukumnya," ujar Lukman. Rini Kustiani
Sumber www.tempointeraktif.com
Foto www.google.co.id