JAKARTA, HUMAS MKRI - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) cukup banyak masuk dalam peraturan perundang-undangan. Namun sifat fatwa MUI belumlah sebagaimana ditegaskan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang mendefinisikan peraturan perundang-undangan atau taqnin yakni peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan diberlakukan atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara hingga saat ini, fatwa MUI yang sangat banyak tersebut baru sebatas dijadikan konsideran menimbang dan dijadikan pegangan secara lisan oleh para pembuat norma yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Berikutnya dalam praktik hukum di Indonesia, fatwa MUI yang menjadi taqnin tersebut butuh untuk dikonkretkan sebagai norma yang memiliki kekuatan mengikat secara umum seperti halnya suatu peraturan perundang-undangan.
Demikian penyataan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam acara 6th Annual Conference on Fatwa Studies (ACFS) dalam rangka Milad MUI ke-47 yang diselenggarakan Komisi Fatwa MUI pada Rabu (27/7/2022) di Hotel Sultan, Jakarta. Kegiatan yang mengusung tema “Peran Fatwa MUI dalam Perubahan Sosial” ini ditujukan sebagai sarana bagi pertukaran gagasan dan pemikiran para ulama, cendekiawan, akademisi, dan peneliti tentang berbagai hal terkait dengan peran fatwa MUI dalam perubahan sosial yang terjadi di tengah umat dan bangsa. Wahiduddin pada kesempatan ini menyampaikan paparan dengan tema “Beberapa Catatan Tentang Fatwa MUI, Taqnin Dan Pembaruan Hukum Nasional (Perspektif Peraturan Perundang-Undangan).”
Lebih lanjut Wahiduddin mengatakan berbicara fatwa MUI maka tidak terlepas dari persoalan kedudukan Hukum Islam dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Diakui oleh Wahiduddin, implementasi dan peran fatwa MUI sebagai salah satu produk pemikiran hukum Islam sesungguhnya banyak disadur dalam merespons berbagai peraturan perundang-undangan. Sejauh ini, keterlibatan MUI dalam perundang-undangan baru pada tahap digolongkan pada partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seperti yang disebutkan dalam Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2022, yang pada ayat (3) menyatakan “… merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentungan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.” Maka, dalam hal ini MUI yang sejak terbentuknya pada 1975 adalah perkumpulan masyarakat.
Dalam praktiknya pada sebuah undang-undang terkait hukum Islam, dasar hukum “Mengingat” dalam suatu peraturan perundang-undangan mencantumkan dasar konstitusional Pasal 29 UUD 1945, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal; Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji; dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Namun Fatwa MUI, lagi-lagi belum dituangkan dalam sebuah norma karena secara hierarki yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Tap MPR; Undang-Undang/Perpu; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak atau belum memiliki kekuatan mengikat dan berlaku secara umum dengan penerapan sanksi, denda, dan bahkan pidana.
“Fatwa MUI yang ingin dimasukkan dalam bagian dari peraturan perundang-undangan yang ada sanksinya, mulai dari Undang-Undang sampai pada Peraturan Daerah dan Peraturan Desa, maka mengisi hal ini bukanlah suatu yang mudah. Dengan fatwa yang telah banyak ini, baik diminta karena kebutuhan pengembangan dan lainnya, maka sebaiknya MUI melakukan pengawalan sejak perencanaan hingga evaluasi dari suatu norma sehingga fatwa MUI yang ada tersebut dapat dituangkan sebulat-bulatnya dan menjadi lebih konkret dalam peraturan perundang-undangan yang akan dirancang. Jadi pada teknik perundang-undangan bahasa yang digunakan bukan lagi bahasa fiqih, tetapi lebih menggunakan bahasa yang familiar dengan hukum negara dan diselaraskan dengan esensi atau pemaknaan dari fatwa MUI tersebut,” kata Wahiduddin dalam acara yang juga turut dihadiri oleh Jimly Asshiddiqie, dan Moch. Nur Ichwan.
Sebagai informasi, kegiatan ini dilaksanakan pada Selasa–Kamis (26 – 28/7/2022) dengan beberapa kegiatan di antaranya Pembukaan 6th 6th Annual Conference dan serangkaian kegiatan diskusi dalam Sidang Pengantar yang membahas mengenai Akidah, Ibadah, Kelembagaan dan Metodelogi Fatwa, Sosial Kemasyarakatan dan Produk Halal, Ekonomi Syariah yang dipaparkan berbagai narasumber seperti Abdurrahman Dahlan, Miftahul Huda, Jaih Mubarok, dan Maulana Hasanuddin. Agenda selanjutnya MUI juga menyelenggarakan presentasi dan diskusi makalah yang terbagi atas beberapa kelas diskusi.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.