JAKARTA, HUMAS MKRI - Pelarangan keikutsertaan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dalam lalu lintas pembayaran menyebabkan BPRS tidak mampu melakukan pelayanan nasabah secara baik dan efisien. Hal ini berujung pada kerugian individu dengan mahalnya layanan yang didapat.
Keterangan tersebut disampaikan oleh mantan Dewan Pengawas BPRS Saifuddien Hasan dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (27/7/2022). Perkara Nomor 32/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan).
“Padahal saat ini Bank Indonesia membuka jalur transaksi lalu lintas pembayaran yang dirancang lebih murah untuk masyarakat seperti BI Fast. Namun ironi, nasabah BPRS tidak dapat memakainya secara langsung, harus melalui pihak ketiga yang memunculkan ongkos tambahan pada setiap transaksinya,” ujar Saifuddien yang hadir menjadi Ahli Pemohon.
Saifuddien menyebut tidak ada BPRS yang dapat melakukan pemindahan dana nasabahnya dalam skema lalu lintas pembayaran langsung. Dalam praktiknya, BPRS harus bekerja sama dengan Bank Umum Syariah. Sementara BPR konvensional dapaat langsung mengikuti skema yang ditetapkan Bank Indonesia. “Meski terbatas tiga BPR, dimana BI tidak memberikan izin kembali untuk yang lain karena berlakunya dan penafsiran Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perbankan Syariah saat ini,” jelasnya.
Menurut Saifuddien, pelarangan keikutsertaan lalu lintas pembayaran secara langsung mengakibatkan nasabah BPRS bukan nasabah yang berbasis layanan transaksi, melainkan nasabah berbasis orientasi keuntungan margin bagi hasil semata. Hal ini mengakibatkan BPRS tidak dapat mengumpulkan dana masyarakat dan menyalurkannya ke masyarakat kembali dalam bentuk pembiayaan atau kredit.
“Dalam istilah konvensional dengan ongkos yang terjangkau akan menjadi selalu mahal. Ini tentu merugikan masyarakat pelosok Indonesia dalam mendapatkan sumber dana untuk usaha yang mudah dan terjangkau,” tegasnya.
Baca juga: BPR Syariah Minta Perlakuan Sama dalam Pelayanan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
Larangan Penawaran Saham
Selain itu, Saifuddien menerangkan, aturan yang melarang penawaran saham BPRS ke publik sebagai bentuk penutupan pintu BPR atas sumber dana investasinya. Padahal pintu investasi dapat berasal dari pendiri maupun masyarakat di luar pendiri. Pelarangan penawaran saham ke publik berakibat atas sulitnya BPRS mendapatkan modal secara cepat dan efisien.
“BPRS harus berkeliling ke berbagai pihak berkali-kali dan terus-menerus dengan ongkos yang tidak terbatas untuk mendapatkan investor baru atau bahkan hanya untuk mengganti investornya. Pada akhirnya, BPRS mengalami perlambatan pertumbuhan karena lambatnya pertambahan modalnya,” urai Saifuddien.
Baca juga: BPRS HIK Parahyangan Perbaiki Permohonan Uji UU Perbankan Syariah
Sementara saksi Risdan Harly yang merupakan Direktur Utama BPRS milik Pemerintah Daerah Kota Ternate menyampaikan BPRS yang dikelolanya mengalami kesulitan dalam menghimpun dana dari masyarakat atau pihak ketiga. Di satu sisi pihak otoritas jasa keuangan dan BI mendorong BPRS untuk tumbuh dan berkembang dan melayani masyarakat.
“Sebagai bank milik Pemerintah Daerah Kota Ternate yang diberikan kepercayaan menjalankan transaksi pembayaran Pemda Kota Ternate, kami mengalami kesulitan dikarenakan tidak bisa menjalani lalu lintas pembayaran, sehingga kesempatan kami untuk memperoleh dana pihak ketiga yang murah akhirnya harus dialihkan ke rekening bank umum. Hal ini berkaitan dengan setelah kami mendapat kepercayaan dari Pemerintah Kota Ternate, dimana sesuai dengan persetujuan Menteri Keuangan dengan memberikan kepercayaan kepada BPR Syariah Bahari Berkesan untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Ternate, kami pun masih mengalami kesulitan, sebagaimana dalam SK Menteri Keuangan tersebut, yaitu Nomor S-447/MK/2016,” ujarnya secara daring.
Baca juga: DPR Sampaikan Perbedaan Kewenangan BPRS dengan Bank Umum
Risdan menegaskan, BPRS kesulitan dalam memasarkan produk‑produknya, terutama produk yang berkaitan dengan penghimpunan dana pihak ketiga dalam bentuk dana murah. Ia menganggap bahwa dengan pembatasan penyelenggaraan lalu lintas pembayaran, juga merugikan industri BPR Syariah.
“Dimana untuk mendukung operasional kami harus melakukan transaksi yang melibatkan bank umum, yang dengan demikian bertambah biaya pada kami yang secara otomatis akan kami bebankan kembali kepada nasabah. Selain itu, menjalankan kerja sama dengan bank umum bisa meningkatkan pos atau biaya dan keterbatasan waktu pelayanan bank umum terhadap BPRS,” tandasnya.
Baca juga: Faisal Basri: BPRS Bisa Berperan dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS.
Menurut pemohon pembatasan dan larangan untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPR Syariah tidak optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat terutama usaha mikro kecil untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Lebih lanjut Kamal mengatakan, Bank Indonesia menetapkan kebijakan National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi. Dengan adanya norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah, BPR Syariah tidak dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal-pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana