JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (26/7/2022) dengan agenda mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Arsul Sani yang merupakan anggota komisi III mengatakan pada Pasal 50 UU Rusun memberikan fungsi rumah susun hanya fungsi hunian dan campuran, maka terhadap rumah susun umum, khusus rumah susun negara dan komersial harus dimanfaatkan sebagai fungsi yang telah diatur dalam Pasal 50 UU Rusun, yaitu fungsi hunian dan campuran.
“Dahulu dalam UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun juncto Peraturan Pemerintah diberikan pengaturan mengenai penggunaan rumah susun untuk hunian atau bukan hunian, maka di dalam UU tersebut terjadi perubahan paradigma mengenai pemanfaatan rumah susun dengan pengutamaan kemanfaatannya sebagai hunian. Meskipun demikian pemanfaatan rumah susun sebagai fungsi bukan hunian tetap diakomodir dalam UU tersebut melalui fungsi campuran yang melaksanakan pemanfaatan rumah susun sebagai hunian dan bukan hunian secara bersamaan,” tegas Arsul secara daring.
Arsul menjelaskan, kepemilikan SHM Sarusun dilakukan dengan memastikan bahwa rumah susun yang dibentuk dan dimanfaatkan untuk fungsi hunian atau fungsi campuran sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 50 UU Rusun. Oleh karena itu terhadap rumah susun yang tidak memenuhi fungsi hunian atau fungsi campuran tidak dapat diterbitkan SHM Sarusun. Bahwa dalam satuan rumah susun tidak hanya terdapat milik perseorangan yang dikelola sendiri oleh pengelolanya namun juga terdapat bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama serta dikelola secara bersama karena menyangkut kepentingan dan penghidupan orang banyak.
Selanjut, Arsul menjelaskan PPPSRS harus dibentuk dalam satu pengelolaan rumah susun harus beranggotakan pemilik atau penghuni. Oleh karena itu, pengaturan mengenai PPPSRS dalam UU diharapkan dapat mengatur dan mengurus serta menjamin ketertiban dan keselarasan dalam mengelola bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dari satu rumah susun.
Baca juga: Pemilik Kondotel Uji Ketiadaan Frasa “Bukan Hunian” dalam UU Rusun
Dalam perkembangannya, sambung Arsul, konsep dasar hunian dalam masyarakat saat ini telah berkembang konsep hunian yang bervariasi dan salah satunya yang berkaitan dengan permohonan a quo yaitu dengan konsep condominium hotel atau condotel. “Seluruh pembangunan dan pengurusan kondotel harus mengacu UU Rusun mulai dari pemanfaatan kondotel, pemilikan kondotel, penerbitan SHM Sarusun sebagai tanda bukti pemilikan kondotel, pembentukan PPPSRS atas kondotel di maksud,” tegasnya.
Salah satu bentuk pengelolaan kondotel sebagai salah satu bentuk rumah susun tetap harus tunduk dan mengacu kepada aturan UU Rusun yang pemanfaatan rusun komersial harus dilaksanakan dengan fungsi campuran, yaitu kondotel harus memberikan fungsi hunian dan bukan hunian syarat bersama mekanisme pengelolaannya.
Sebelumnya, Perkara Nomor 62/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh para pemilik kondominium dan hotel (kondotel), yakni Rini Wulandari sebagai Pemohon I, Hesti Br Ginting sebagai Pemohon II, Ir Budiman Widyatmoko sebagai Pemohon III dan Kristyawan Dwibhakti sebagai Pemohon IV. Para Pemohon mendalilkan Pasal 50 UU Rusun yang berbunyi, “Pemanfaatan rumah susun dilaksanakan sesuai dengan fungsi; a. Hunian; atau b. campuran” bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon merupakan para pemilik satuan unit rumah susun yang berbentuk satuan unit kondotel. Dengan adanya UU Rusun, kondotel tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, sehingga para Pemohon tidak dapat membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan, kepemilikan dan penghunian. Hal tersebut berakibat ¨kebendaan yang di bawah kekuasaannya (satuan rumah susun yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama) tidak di bawah penguasaan para Pemohon, melainkan berada di bawah penguasaan developer. Selain itu, Pemohon mendalilkan kondotel yang tidak difungsikan sebagai hunian maupun campuran, berakibat pada satuan unit kondotel yang dimiliki para Pemohon tidak dapat diterbitkan bukti kepemilikan Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun). Sehingga, berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 50 UU Rusun bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk “Bukan Hunian”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F