PADANG, HUMAS MKRI – Negara memiliki peran penting dalam perkembangan media sosial. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam kuliah umum bertajuk “Ideologi Pancasila di Era Disrupsi Teknologi”, pada Jumat (22/7/2022). “Karena media sosial menguasai hajat hidup orang banyak, maka peran negara di situ menjadi penting,” ujar Arief yang hadir langsung di Universitas Negeri Padang (UNP), Padang.
Arief menyebut dunia telah memasuki Revolusi Peradaban Masyarakat 5.0. Perubahan fundamental teknologi tersebut yang disebut dengan disrupsi teknologi. Menurut Arief, disrupsi teknologi memiliki dua sisi, yakni sisi positif dan sisi negatif. “Sisi positifnya sangat terasa pada era pandemi. Kita tidak bisa bertemu secara fisik, teknologi menyebabkan dibutuhkannya pertemuan daring. Bahkan hingga kini, MK masih melakukan persidangan daring. Ini sisi positifnya,” ujarnya.
Sementara sisi negatifnya, lanjut Arief, dikenal dengan era post-truth atau pascakebenaran. Dampak buruk ini muncul dengan mengedepankan kebenaran adalah sesuatu yang semu. “Kebenaran adalah imitasi. Kebenaran dapat dibangun melalui media sosial. Sesuatu yang tidak benar, namun diulang-ulang di media sosial, maka itu akan menjadi kebenaran. Era post-truth itu benar terjadi,” ucapnya.
Menurut Arief, ujaran kebencian dan narasi negatif yang bertujuan untuk memecah belah bangsa banyak berseliweran di media sosial. Belum lagi hal tersebut banyak dibagikan dan disebarluaskan tanpa ada cek kembali. “Nah kita itu masuk dalam era post truth. Ini berbahaya karena ternyata ada kepentingan orang luar dan negara lain yang ingin meruntuhkan NKRI,” ujarnya.
Menurut Arief, pemahaman mendalam masyarakat tentang Pancasila dapat menjadi filter dalam mengatasi dampak negatif dari medsos. Kekuatan dari Pancasila telah lama terbukti dalam menyatukan NKRI.
Selain itu, Arief menjelaskan bahwa media sosial merupakan sarana interaksi modern yang mendukung politik partisipatif. Interaksi telah menjadi kekuatan kontrol baru dalam kebijakannya. Dalam terminologi buruk, media sosial mengancam problem serius jika digunakan penuh dengan nafsu, ambisi, amarah, dan minus tanggung jawab. “Media sosial melemahkan kohesivitas Indonesia,” tegas Arief.
Keberadaan media sosial menjelma menjadi kekuatan baru di mana-mana dan memengaruhi sistem masyarakat dan negara. "Kekuatan media sosial dapat mengubah bangsa ini," ujar Arief.
Menanggapi materi yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan UNP Suryanef mengatakan ia setuju dan sependapat bahwa Pancasila sebagai ideologi serta dasar negara. Ia menyebut Bapak Bangsa (Founding Fathers) telah menyatakan posisi Pancasila tidak dapat ditawar kembali.
“Saya sangat sependapat bahwa tantangan yang paling nyata sekarang ini bagaimana berkembangnya narasi kebencian, hoaks yang berpotensi menciptakan polarisasi serta memecah belah warga. Sungguh sangat disayangkan narasi-narasi yang dibungkus rasa benci terhadap sara, budaya tertentu bahkan juga dibalut dengan sentiment-sentimen keagamaan yang sangat potensial beresiko bagi bangsa yang plural ini untuk mengalami perpecahan. Nah itu dipertontonkan, kita bisa lihat bagaimana kontestasi pilpres, pilkada yang saya pikir kepentingan sesaat. Bagaimana menumbuhkan rasa komitmen yang jelas di dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena ini hal yang sangat penting bagaimana pun majunya teknologi saya piker national character building sangat penting ditengah-tengah kita,” papar Suryanef.
Sementara itu, salah seorang peserta kuliah umum, Darul Fauzi menyampaikan bahwa ia setuju dengan ideologi Pancasila merupakan gerbang pembebasan baik bebas dari keterbelakangan, kemiskinan, krisis identitas dan sebagainya. Ia pun berharap Pancasila juga dapat dijadikan sumber untuk mengarahkan Pendidikan agar jelas hasilnya.
“Jadi, tidak hanya output akademis tetapi juga output karakter karena banyak sekali orang-orang pintar itu tidak punya karakter dan etika. Selain itu, mohon arahan petunjuk bagaimana nilai-nilai Pancasila itu bisa dipahami oleh seluruh sendi-sendi kehidupan sehingga krisis identitas, semangat gotong royong ada lagi,” ucap Darul.
Menanggapi hal tersebut, Arief kembali menegaskan pentingnya kembali kepada Pancasila sebagai tujuan bernegara. Selain itu, ia berharap para pemengaruh (influencer) membangun narasi positif untuk menyatukan NKRI.
“Kita sepakat untuk betul-betul kembali mengembalikan orientasi kita kepada tujuan bernegara yang didasarkan pada Pancasila ini. Ruang publik atau media sosial diisi oleh influencer yang hanya mencari popularitas. Karena semakin banyak influencer semakin banyak menghasilkan uang. Tetapi narasi yang disampaikan diisi dengan narasi-narasi yang tidak positif dan tidak membangun negeri dan memperkuat NKRI. Mari kita bersama-sama menjadi influencer-influencer yang mampu menarasikan hal-hal yang positif,” tandas Arief.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.