JAKARTA, HUMAS MKRI – Persoalan frasa ‘batal demi hukum’ dalam Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) bukan semata‑mata masalah penerapan atau implementasi norma. Dalam praktik hukum, hal ini dapat dilakukan oleh penuntut umum berkali‑kali bahkan sampai tiga kali penuntutan atas suatu perkara yang sama dengan surat dakwaan yang diperbaiki, setelah sebelumnya pernah dinyatakan batal demi hukum. Hal tersebut menunjukkan bahwa KUHAP tidak memberikan kejelasan pemaknaan atas frasa ‘batal demi hukum’ atas dakwaan berdasarkan putusan sela.
Demikian keterangan yang disampaikan Muhammad Arif Setiawan selaku Ahli Hukum Acara Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) yang dihadirkan Direktur PT Karya Jaya Satria Umar Husni (Pemohon) dalam sidang ketujuh dari Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 yang digelar pada Kamis (21/7/2022) di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih jelas terhadap ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP ini, Arif mengatakan KUHAP pada intinya telah mengatur secara jelas mengenai norma kebolehan perbaikan surat dakwaan sesudah dilakukannya proses penuntutan oleh penuntut umum meski proses persidangan belum dimulai. Hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 144 KUHAP ayat (1) ysng berbunyi, “Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan, maupun untuk melanjutkan penutupannya,” dan Ayat (2) yang berbunyi, “Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat‑lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai”. Kendati pada norma tersebut tidak diberi penjelasan pada bagian Penjelasan Pasal 144 KUHAP tersebut, namun menurut Arif bukan berarti menjadi persoalan yang berakibat pada kerugian hak konstitusional para pihak dalam perkara pidana.
“Sebab Pasal 144 KUHAP tersebut mengatur kebolehan mengubah surat dakwaan dengan dua kemungkinan alasan, yaitu untuk memperbaiki atau menyempurnakan surat dakwaan, atau untuk tidak melanjutkan penuntutan. Demikian juga dari segi waktu dan jumlah perbaikan telah sangat jelas ditentukan dengan tegas, bahwa perbaikan hanya bisa dilakukan selambat‑lambatnya 7 hari sebelum sidang, serta hanya boleh dilakukan sebanyak‑banyaknya 1 kali perbaikan,” jelas Arif dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Baca juga: Aturan Mengenai Surat Dakwaan dalam Uji KUHAP Digugat
Tidak Boleh Dua Kali
Selain itu, Arif menyebut adanya pelanggaran terhadap syarat isi muatan putusan pemidanaan dalam Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, dalam suatu perkara mestinya penuntutan tidak boleh lagi dilakukan untuk kedua kalinya. Jika hal tersebut dilakukan, maka akan mengakibatkan nebis in idem karena putusan dilakukan sesudah selesainya pemeriksaan materi pokok perkara. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku terhadap putusan atas eksepsi yang sama‑sama memutuskan ‘batal demi hukum’ sebagai akibat tidak dipenuhinya ketentuan tentang syarat sahnya surat dakwaan secara materiil, sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b juncto Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang dengan argumentasi materi pokok perkara belum diperiksa.
“Maka frasa ‘batal demi hukum’ yang terdapat dalam norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan sangat beralasan pula apabila Mahkamah menyatakan secara hukum dalam putusan bahwa pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau setidak‑tidaknya menyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara bersyarat dengan menentukan persyaratan yang wajib dipenuhi agar frasa batal demi hukum tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seperti dengan memberikan pembatasan waktu selambat‑lambatnya bagi penuntut umum untuk memperbaiki surat dakwaan dan jumlah maksimal pengajuan kembali proses penuntutan terhadap terdakwa yang bersangkutan agar Pemohon atau terdakwa bisa memperoleh perlakuan hukum yang adil dan berkepastian hukum,” terang Arif.
Baca juga: Pemohon Uji KUHAP Mengenai Surat Dakwaan Perjelas Argumentasi Permohonan
Proses Hukum yang Panjang dan Berubah-ubah
Pada kesempatan berikutnya, Pemohon juga menghadirkan Saksi atas nama Ali Rofi yang memberikan kesaksian atas perkara hukum yang dialaminya sejak 2015. Kemudian perkara yang dialaminya baru dilimpahkan ke dari penyidik ke Kejaksaan di Pengadilan Negeri Purwokerto pada 12 Februari 2020. Atas hal ini dibutuhkan waktu hingga tiga tahun dari proses penyidikan dan apabila dilakukan pembanding antara surat perintah pertama dengan sampai terakhir putusan Pengadilan Tinggi Semarang tertanggal 21 Februari 2022, maka ia telah mengalami proses hukum lebih dari lima tahun, Baginya hal ini mencerminkan ketidakprofesionalan, penuh ketidakpastian, dan jauh dari rasa keadilan, dan kami mengalami kelelahan, dan kerugian yang sangat banyak.
“Saya sendiri mulai disidik berdasarkan Surat Nomor PRIN004.DIK/WPJ.32, tanggal 23 Juli 2019, hampir 3 tahun setelah proses yang sama dialami Pak Umar Husni. Lalu silih berganti saya dan Pak Umar Husni menghadiri setiap surat panggilan pemeriksaan, melakukan proses praperadilan hingga dua kali dalam mana akhirnya perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Purwokerto pada Rabu, 12 Februari 2020. Tentu kasus ini telah merepotkan banyak pihak, bukan hanya sekadar saya sebagai saksi fakta dan terlebih Pak Umar Husni, namun juga pihak-pihak lain di sekitar kami yang banyak direpotkan dan disusahkan dengan kasus ini, menguras energi, dan emosi semua pihak,” cerita Rofi.
Dalam kasus konkret Rofi juga menceritakan perubahan pada statusnya sebagai penanggung jawab kegiatan operasional PT Karya Jaya Satria. Dalam dakwaan II, terdapat perubahan informasi status dirinya sebagai salah satu pengurus PT Karya Jaya Satria. Selanjutnya pada Dakwaan III, statusnya kembali berubah menjadi pengendali kegiatan operasional perusahaan. Berikutnya, perubahan ini juga ia dapati saat pemeriksaan kerugian negara yang juga berubah-ubah. Atas hal ini ia mempertanyakan proses hukum yang dialaminya tersebut.
“Proses hukum mestinya menjunjung tinggi objektivitas data dan informasi serta profesionalisme, menjadi begitu tidak cermat, bahkan terkesan mengada-ada. Pada saat Putusan Sela tertanggal 10 Maret 2020, penasihat hukum memberikan pemahaman kepada kami bahwa ini hanyalah putusan sela dan jaksa masih memiliki upaya perlawanan, dan status hukum kami masih menunggu sampai adanya putusan pengadilan tinggi atas perlawanan jaksa tersebut. Setelah kami mendapatkan putusan dari Pengadilan Tinggi Semarang yang menolak perlawanan jaksa dan menguatkan putusan pengadilan negeri, maka kami semua pun mengucap syukur. Kami berpikir setelah dakwaan itu dibatalkan demi hukum, tidak akan ada apa-apa lagi, Tetapi ternyata faktanya tidak demikian. Singkat cerita, kami kembali disidangkan sebagai terdakwa untuk kedua kalinya, bahkan ketiga kalinya,” kisah Rofi.
Baca juga: Pemerintah: Penerapan Aturan Surat Dakwaan Merupakan Kewenangan Hakim
Sebagaimana diketahui, Pemohon menyatakan Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 143 ayat 3 (KUHAP) berbunyi, “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Berdasarkan dalil yang disebutkan di atas, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana