JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah dapat memahami dan memiliki rasa empati yang tinggi kepada para penderita penyakit tertentu yang “secara fenomenal” menurut para Pemohon dapat disembuhkan dengan terapi yang menggunakan jenis Narkotika Golongan I. Namun, hal tersebut belum merupakan hasil yang valid dari pengkajian dan penelitian secara ilmiah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah untuk mendorong penggunaan jenis Narkotika Golongan I dengan sebelumnya dilakukan pengkajian dan penelitian secara ilmiah berkaitan dengan kemungkinan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Selanjutnya, hasil pengkajian dan penelitian secara ilmiah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pembentuk undangundang di dalam merumuskan kemungkinan perubahan kebijakan berkenaan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan tersebut diajukan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI).
Dalam amar putusan, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. “Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon V dan Pemohon VI tidak dapat diterima. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan Hakim Konstitusi dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 yang digelar secara daring dari Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (20/7/2022).
MK menyatakan semangat yang terkandung dalam Penjelasan Umum UU Narkotika menegaskan narkotika jenis tertentu merupakan zat atau obat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat, khususnya generasi bangsa. Terlebih, terhadap narkotika jenis tertentu lainnya yang oleh undang-undang benar-benar masih dilarang penggunaannya, selain apa yang secara tegas diperbolehkan, seperti halnya jenis Narkotika Golongan I yang hanya diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
“Hal tersebut akan sangat merugikan jika pembatasan tersebut justru ada penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya akan dapat merusak generasi bangsa dan bahkan melemahkan ketahanan nasional,” Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh saat membacakan pertimbangan hukum.
Meskipun pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan setidaknya di beberapa negara, antara lain Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Yunani, Israel, Italia, Belanda, Norwegia, Peru, Polandia, Romania, Kolombia, Swiss, Turki, Inggris, Bulgaria, Belgia, Prancis, Portugal, Spanyol, Selandia Baru, dan Thailand, namun fakta hukum tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan parameter, bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara. Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda, baik jenis bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Dalam perspektif ini, sambung Daniel, untuk negara Indonesia, walaupun diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin “dapat” disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu, namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan, khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia. Terlebih, berkenaan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I termasuk dalam kategori narkotika dengan dampak ketergantungan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan Narkotika Golongan I di Indonesia harus diukur dari kesiapan unsur-unsur sebagaimana diuraikan tersebut di atas sekalipun terdapat kemungkinan keterdesakan untuk pemanfaatannya.
Kajian Ilmiah
Terhadap dalil para Pemohon terkait dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika agar dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”, menurut Mahkamah pengelompokkan narkotika ke dalam tiga jenis golongan sebagaimana dimaksud dalam UU Narkotika, yaitu Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III merupakan hal yang penting dilakukan, mengingat sifat dari ketiga jenis golongan narkotika tersebut mempunyai dampak yang berbeda. Demikian halnya berkenaan dengan akibat hukum yang ditimbulkan, jika terjadi penyalahgunaan pemanfaatan narkotika yang dapat menimbulkan bahaya, tidak hanya berkaitan dengan ancaman jiwa, akan tetapi juga kehidupan manusia yang lebih luas.
Oleh karenanya, sangat relevan pembagian jenis golongan narkotika tersebut tetap dipertahankan untuk dijadikan rujukan dalam membuat regulasi terkait dengan penggunaan, pengkajian dan penelitian, serta penegakan hukumnya ketika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena setiap jenis golongan narkotika memiliki dampak yang berbeda-beda, khususnya dalam hal tingkat ketergantungannya, maka di dalam menentukan jenis-jenis narkotika yang ditetapkan ke dalam suatu jenis golongan narkotika tertentu dibutuhkan metode ilmiah yang sangat ketat. Sehingga, terkait dengan adanya keinginan untuk menggeser/mengubah pemanfaatan jenis narkotika dari golongan yang satu ke dalam golongan yang lain maka hal tersebut juga tidak dapat secara sederhana dilakukan.
“Oleh karena itu, untuk melakukan perubahan sebagaimana tersebut di atas dibutuhkan kebijakan yang sangat komprehensif dan mendalam dengan melalui tahapan penting yang harus dimulai dengan penelitian dan pengkajian ilmiah. Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan berkaitan dengan jenis Narkotika Golongan I telah ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika hanya dapat dipergunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, dari pembatasan imperatif dimaksud secara sederhana dapat dipahami bahwa Narkotika Golongan I adalah jenis narkotika yang mempunyai dampak paling serius dibandingkan dengan jenis narkotika Golongan I,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum.
Pengawasan Pemerintah
Mahkamah juga menjelaskan sanksi ancaman pidana penjara yang sangat berat dimaksud disebabkan karena negara benar-benar ingin melindungi keselamatan bangsa dan negara dari bahaya penyalahgunaan narkotika, khususnya jenis Narkotika Golongan I. Dengan demikian, perlindungan kepada masyarakat dapat benar-benar diwujudkan karena jenis Narkotika Golongan I tetap harus dipandang sebagai jenis narkotika paling berbahaya, khususnya apabila dikaitkan dengan dampak ketergantungannya yang sangat tinggi.
Oleh karena itu, Negara dalam konteks pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I khususnya, dan jenis Narkotika Golongan II serta jenis Narkotika Golongan III pada umumnya, wajib melakukan pengawasan secara ketat agar penggunaan narkotika tidak disalahgunakan. Dalam konteks inilah rasionalitas sesungguhnya yang menjadi salah satu alasan sangat penting dilakukannya pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I yang dimungkinkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, termasuk dalam hal ini untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan dan rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika.
Kewenangan Pembentuk UU
Mahkamah dalam pertimbangan hukum selanjutnya menyebutkan fakta hukum dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika yang sudah mencantumkan “larangan secara tegas penggunaan jenis Narkotika Golongan I untuk terapi”. Dengan kata lain, sesungguhnya “fenomena” perihal kebutuhan terhadap jenis Narkotika Golongan I untuk dapat dimanfaatkan guna keperluan terapi sudah muncul sejak sebelum UU Narkotika diundangkan.
Dengan demikian, Mahkamah perlu menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti Putusan a quo berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, yang hasilnya dapat digunakan dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud.
Melalui Putusan ini Mahkamah juga mengingatkan agar pembentuk undang-undang, termasuk pembuat peraturan pelaksana harus benar-benar cermat dan hati-hati dalam mengantisipasi hal-hal tersebut, mengingat kultur dan struktur hukum di Indonesia masih memerlukan edukasi secara terus menerus.
Mahkamah berkesimpulan ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika telah memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum berkaitan dengan hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, ketentuan tersebut juga telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalill permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika adalah tidak beralasan menurut hukum.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Penggunaan Narkotika Golongan I Untuk Kepentingan Medis
LSM dan Ibu dari Pasien Celebral Palsy Pertegas Kedudukan Hukum dalam Uji UU Narkotika
DPR Sebut Proses Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis Berbeda di Setiap Negara
Asmin Fransiska: Indonesia Salah Tafsir atas Konvensi Tunggal Narkotika 1961
Stephen Rolles: Semua Obat Medis Berpotensi Memiliki Risiko
Ahli dari Korea Selatan dan Thailand Bahas Proses Legalisasi Ganja untuk Medis
Saksi Pemohon Berhalangan Hadir, Sidang Uji UU Narkotika Ditunda
Saksi Sebut Ganja Dapat Redakan Nyeri Neuropatik Kronis
Ahli Pemerintah: Tak Perlu Ganja untuk Obati Epilepsi
Sebagai informasi, Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI). Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Dwi Pertiwi adalah seorang ibu yang pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam. Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi Pemohon perkara ini. Adanya larangan tersebut telah secara jelas, menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Kemudian, Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan. Menurut para Pemohon, penjelasan norma a quo telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Hak demikian sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.