JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan permohonan pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang diajukan oleh Mahasiwa Universitas Lampung (Unila).
“Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon; Menyatakan Permohonan Nomor 66/PUU-XX/2022 mengenai Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali; Menyatakan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo,” kata Ketua Pleno Anwar Usman dalam sidang pengucapan ketetapan pada Rabu (20/7/2022).
Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan yang diajukan oleh M. Yuhiqqul Haqqo Gunadi, Hurriyah ‘Ainaa Mardiyah, Ackas Depry Aryando, Rafi Muhammad, Dea Karisna, dan Nanda Trisua Hardianto, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 3 Juni 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon No. 59/PUU/PAN.MK/AP3/06/2022, bertanggal 3 Juni 2022. Permohonan tersebut dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 14 Juni 2022 dengan Nomor 66/PUU-XX/2022 mengenai Pengujian Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Anwar melanjutkan Mahkamah telah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui sidang panel pada 27 Juni 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Selanjutnya, Mahkamah telah menyelenggarakan sidang panel dengan acara pemeriksaan perbaikan permohonan para Pemohon pada 13 Juli 2022. Dalam persidangan dimaksud para Pemohon menyatakan menarik kembali Permohonan Nomor 66/PUU-XX/2022. Pada hari yang sama Mahkamah menerima surat para Pemohon perihal Pencabutan Permohonan Nomor 66/PUU-XX/2022, bertanggal 13 Juli 2022.
Terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 14 Juli 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali Permohonan Nomor 66/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon,” tandas Anwar.
Dalam sidang yang berlangsung pada 27 Juni 2022, Para Pemohon mendalilkan sebagian frasa dan kata dalam Pasal 5 ayat(4), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (1) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para Pemohon pasal-pasal tersebut telah menciderai demokrasi dan tidak menghargai reformasi sebagai sejarah bangsa, menimbulkan kerugian nyata bagi para Pemohon khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang pada dasarnya memiliki hak politik, hak ikut serta dalam pemerintahan dan hak untuk memilih/dipilih.
Menurut para Pemohon, penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan dan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat dan kepala daerah secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil. Asas demokrasi menjamin semua warga negara memiliki hak yang setara untuk menentukan keputusan yang diambil dalam pengambilan keputusan untuk keberlangsungan hidup masing-masing warga negara.
Para Pemohon beranggapan, masyarakat atau warga negara secara bebas harus dapat menentukan sendiri pilihan mereka terhadap wakil rakyat dan kepala daerah yang akan memimpin mereka dan berpartisipasi aktif baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan atas pengambilan kebijakan pemerintah. Dengan adanya Pasal 9 ayat (1) dalam UU IKN, hal tersebut mematikan asas demokrasi rakyat untuk berpartisipasi langsung dalam memilih kepala daerahnya sendiri yang kemudian bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut dan menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.(*)
Penulis: Nano Tresna A.
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.