JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang diajukan oleh akademisi Azyumardi Azra dan 20 Pemohon lainnya, pada Rabu (20/7/2022). “Amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan Nomor 34/PUU-XX/2022 tersebut.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU IKN tidak terpenuhi hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Menanggapi dalil tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pertimbangan hukum, menyampaikan berdasarkan keterangan DPR yang terungkap dalam persidangan, bahwa dalam pembentukan UU IKN, DPR dalam upaya memudahkan masyarakat memberikan masukan telah membuka akses kepada masyarakat untuk mendapatkan Naskah Akademik dan RUU IKN sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Dalam hal ini, Naskah Akademik dan RUU tersebut dapat diakses dan diunduh pada situs resmi DPR, yaitu pada tautan https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368.
“Dalam laman situs internet tersebut, masyarakat dapat membaca dan mengunduh dokumen-dokumen terkait dengan pembentukan RUU IKN. Informasi yang dapat dibaca dan dipelajari dalam laman tersebut termasuk informasi RUU, Rekam Jejak dan dilengkapi dengan form masukan atau feedback,” papar Saldi.
Baca juga: Dinilai Cacat Formil, UU IKN Kembali Diuji Konstitusionalitasnya
Selain itu, Saldi menyebut DPR menerangkan dengan didukung dokumen yang terlampir dalam keterangannya bahwa pembahasan UU IKN telah dilakukan secara terbuka, transparan, melibatkan berbagai pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan fakta-fakta sebagaimana telah diuraikan di dalam persidangan. Terkait dengan hal tersebut, maka pembentuk undang-undang telah melibatkan partisipasi masyarakat dengan mempertimbangkan pihak-pihak yang dimintai pendapat atau pemikirannya dalam penyusunan Naskah Akademik dan RUU IKN. Hal tersebut karena tidak mungkin jika setiap orang atau setiap kelompok masyarakat atau organisasi diundang hadir dalam suatu rapat besar untuk menyusun suatu kebijakan.
“Dengan demikian, pelibatan atau partisipasi masyarakat telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Dari keterangan dan lampiran keterangan DPR a quo, dapat diketahui bahwa dalam proses pembentukan UU 3/2022, pembentuk undang-undang telah berusaha untuk memenuhi kriteria partisipasi yang lebih bermakna sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dengan melakukan kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), audiensi, konsultasi publik, dan kunjungan kerja khususnya dengan stakeholder masyarakat yang memiliki kepentingan atas substansi RUU IKN dan telah langsung menindaklanjutinya ke dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Fraksi,” terang Saldi.
Menurut Mahkamah, hal itu membuktikan bahwa pembentuk undang-undang telah berupaya memenuhi hak masyarakat untuk didengar dan dipertimbangkan pendapatnya, serta dijelaskan atau dijawab atas pendapat yang diberikan. Dalam keterangan tertulisnya, sambung Saldi, DPR juga telah menguraikan dalam tabel yang berisi berbagai pendapat dan masukan dari masyarakat serta ahli yang ditanggapi dan ditindaklanjuti oleh DPR. Saldi juga menerangkan, pada tabel tersebut, terdapat uraian mengenai berbagai pendapat/masukan masyarakat yang diakomodir oleh DPR dalam DIM dan dipertimbangkan dalam pembahasan RUU IKN.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa DPR telah melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) terhadap keterangan atau pendapat ahli serta masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Telah disediakannya akses terhadap Naskah Akademik dan RUU IKN berarti masyarakat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan tanggapan dan masukan terhadap RUU tersebut. Dalam konteks hak untuk berpartisipasi dan memberikan pendapat dalam pembentukan undang-undang, sepanjang masyarakat telah diberikan akses terhadap Naskah Akademik dan RUU IKN maka yang selanjutnya harus dilakukan adalah masyarakat tersebut diharapkan secara aktif menyampaikan pendapat terhadap RUU tersebut, akses inipun telah diberikan dalam laman resmi DPR dalam bentuk pengisian form pendapat dan masukan secara daring (online).
“Dalam hal ini, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang tidak terbukti telah mengesampingkan hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk mendapatkan penjelasan, karena telah dibukanya akses kepada masyarakat sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan tidak dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) dalam proses pembentukan RUU IKN yang kemudian disahkan sebagai UU 3/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum,” urai Saldi.
Baca juga: Suharso Monoarfa Jelaskan Visi dan Misi IKN sebagai Kota Dunia
Terbukti Dibahas
Selanjutnya, para Pemohon mendalilkan dalam pembentukan UU IKN, Lampiran II UU IKN tidak pernah ada (terlampir) dan/atau tidak pernah dibahas serta tersedia pada saat persetujuan bersama. Terkait dalil tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa Lampiran II UU IKN merupakan Rencana Induk Ibu Kota Negara. Dalam rencana tersebut pada tahap awal diusulkan akan diatur dalam Peraturan Presiden kemudian disepakati bersama sebagai bagian dari Lampiran II UU IKN. Rencana Induk tersebut telah disampaikan oleh Presiden kepada DPR dan telah dibahas oleh Panja Pansus RUU IKN bersama Presiden diwakili oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Meskipun dalam Laporan Pansus tanggal 18 Januari 2022 terdapat fraksi yang menyatakan bahwa Lampiran II tersebut belum dibahas, namun demikian berdasarkan risalah Rapat Paripurna tertanggal 18 Januari 2022, dapat diketahui bahwa seluruh peserta sidang paripurna menyetujui RUU IKN beserta lampirannya untuk disahkan menjadi undang-undang.
“Lagipula dalam pembahasan tingkat II, agenda yang dilakukan adalah persetujuan dan pengesahan RUU IKN, bukan pembahasan norma pasal secara terperinci, termasuk substansi Lampiran RUU a quo. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon bahwa Lampiran II RUU IKN yang kemudian disahkan sebagai UU 3/2022 tidak pernah dibahas pada saat persetujuan bersama adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Enny.
Baca juga: Bambang Brodjonegoro Sebut Perpindahan Ibu Kota Telah Melalui Kajian yang Komprehensif
Para permohonan Nomor 34/PUU-XX/2022 diajukan oleh 21 orang Pemohon yang merupakan gabungan dari berbagai profesi, mulai dari para akademisi, pegawai swasta, wiraswastawan, wartawan. Para Pemohon, di antaranya Din Syamsudin, Azyumardi Azra, Didin S. Damanhuri, menganggap hak konstitusional mereka dirugikan oleh pembentukan UU IKN. Para Pemohon menyatakan proses pembentukan UU IKN dilakukan hanya dengan mendengar masukan dari berbagai narasumber, namun tidak ada pertimbangan dan penjelasan atas berbagai pertimbangan yang sangat merepresentasikan pandangan para Pemohon, sehingga mengakibatkan hak para Pemohon memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya menjadi dirugikan dan mengakibatkan tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terkait pengujian materiil UU IKN, para Pemohon merasa dirugikan dengan lahirnya Pasal 1 ayat (2) dan ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU IKN. Ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Karena tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Mengenai alasan pengujian formil, para Pemohon berdalil bahwa Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Apabila pembentukan peraturan perundang-undangan justru menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk memperdebatkan dan mendiskusikan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan peraturan perundang-undangan melanggar kedaulatan rakyat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.